Hari ini, aku sedang libur menerima pesanan. Jadi, aku bisa bebas bergolek di tempat tidur sejak pukul tujuh malam. Seraya menatap langit-langit kamar, aku mengitung perbedaan jam antara Indonesia dan Vancouver, Kanada. Ada rentang waktu empat belas jam. Kalau di sini jam delapan malam, berarti di sana masih jam enam pagi. Jam segini biasanya Are sedang siap-siap masuk kerja.
Ada dua hal konyol dari perkenalan kami. Pertama, kami belum pernah bertemu atau bertatap muka secara langsung sejak awal perkenalan empat bulan lalu. Dia bekerja sebagai ABK kapal pesiar sejak tiga tahun lalu. Kebetulan rute kapalnya saat ini sedang mengarungi rute Kanada-Alaska.
Kekonyolan kedua, dalam rentang waktu satu bulan saling kenal yang tanpa tatap muka secara langsung itu, dia sudah mengajakku berkomitmen. Dan, konyolnya lagi, aku menerimanya. Lalu dua hari setelahnya, kami berubah pikiran dan sepakat untuk menjalani perkenalan ini dengan alami dan pelan-pelan. Karena sebenarnya, dia pun belum siap berkomitmen. Namun, ada yang membuatku penasaran. Dia berulang kali mengutarakan alasannya, kalau tidak ingin membuatku kecewa. Aku sendiri merasa keputusan untuk berkomitmen dengan seorang pria yang baru dikenal tanpa bertemu adalah hal paling gila. Terlebih perkataan Kalila selalu terngiang-ngiang di kepalaku.
“Jangan terburu-buru menerima orang baru. Kamu baru aja putus. Kamu harusnya lebih butuh waktu buat kembali mengenali diri sendiri.”
Kalimat itu berhasil membuatku tetap logis. Namun di sisi lain, aku jadi merasa kehilangan. Padahal, aku dan Are masih berkirim pesan, bertukar cerita, bahkan saling menyemangati, meskipun tidak seintens sebelumnya. Aku menikmati setiap percakapan kami. Are termasuk pria yang asyik diajak ngobrol dalam banyak hal. Tidak ada gombalan atau candaan ala-ala lelaki hidung belang. Saking seringnya bertemu dengan lelaki hidung belang, aku sampai-sampai bisa mengenali dari guratan wajah atau gaya bicara mereka. Kalau sudah begitu firasatku tidak beres. Hal ini tidak berlaku untuk Are. Walaupun begitu, aku terkadang juga cukup parno sendiri. Bagaimana kalau dia ternyata adalah serigala berbulu domba? Justru bisa lebih membahayakan dari peranakan buaya darat.
Ah, Mbak Ria tidak mungkin mempromosikan keponakan yang seperti itu kepadaku. Sejauh ini, banyak sikap Are yang sesuai dengan apa yang pernah diucapkan Mbak Ria. Namun, bagaimana pun juga perkenalan tanpa bertatap muka akan tetap terasa hambar dan semu.
Dering telepon membuyarkan fantasiku yang nyaris membentuk deretan asumsi. Aku menyeringai lebar. Panjang umur. Dia baru saja muncul.
“Halo, Mas Are.”
“Kamu lagi sibuk? Biasanya jam segini masih masak pesanan.”
“Enggak. Kebetulan juga lagi libur buat pesanan.”
“Aku baru selesai siap-siap. Mau sarapan, tapi masih pagi. Niatnya sih mau cerita dulu sebentar, mumpung aku bisa curi waktu. Kapal sudah mulai drydock besok, kerjaan jadi dobel. Jadi, aku mungkin enggak bisa sering-sering hubungi kamu.”
“Enggak masalah. Cerita aja, Mas.”