Jika sebagian orang begitu geli saat mendengar gesekan kuku jari di dinding. Aku paling geli bahkan benci saat mendengar suara kecap seseorang. Apalagi, saat orang itu hanya menyantap makanan lunak, tapi suara kecapnya seolah sedang mengunyah rambak. Pasalnya, kegiatan ini selalu dilakukan oleh Papa dan Sophia, adikku yang paling tua. Belum lagi saat mereka sedang makan bersama dengan ditemani kerupuk, atau sedang menyantap makanan apa pun yang menimbulkan bunyi kecap dan kriuk. Kalau sudah begitu, aku segera menghindar sejauh mungkin. Namun, aku tidak bisa meloloskan diri saat Sophia mengecap sestoples keripik di dalam kamarku siang ini. Aku tidak bisa serta merta mengusirnya. Kalau aku melakukan itu, rentang jarak di antara kami jadi semakin jauh. Mengingat hubungan kami juga cukup renggang belakangan ini.
Beberapa bulan lalu, Sophia mengataiku dengan gamblang dan seenak dengkulnya.
“Kamu itu egois banget, Mbak. Hanya memikirkan diri sendiri. Bisa-bisanya bersenang-senang sama banyak teman, sementara aku di sini bingung cari kerja buat keluarga. PD banget pakai acara buka pesanan kue mahal. Jangan terlalu muluk. Tetangga kita, Mbak Ersa, temanmu dari SD itu aja cuma menerima jajanan pasar, tapi juga bisa jadi Bos Besar.”
Aku ingin sekali meremas bibir lenturnya seketika itu juga. Namun, aku masih waras untuk menyadari kalau dia ini adik kandungku. Aku bertahan sekuat tenaga untuk diam tanpa mau menanggapi. Padahal, yang membuatku sering keluar makan-makan juga lantaran menghadiri beberapa acara. Entah itu syukuran ulang tahun Bu Halima atau teman-teman kantor. Belum lagi, acara traktiran dari Bos Besar Bano atau Mas Arman yang seringkali mendapat uang tip dari pekerjaannya di luar kantor. Sophia bersikap seperti itu mungkin lantaran belum merasakan dunia kerja seperti apa.
Dia mengatakan semua itu saat dalam posisi sedang frustasi mencari kerja. Tapi di sisi lain, dia benar-benar tidak memahamiku, walaupun kami tinggal seatap. Hal itu memang sama sekali tidak menjamin. Terlebih, adikku yang satu ini bukan tipe pendengar. Dia suka bercerita, berbicara dan didengarkan. Kalau fakta penelitian menunjukkan bahwa wanita akan mengeluarkan dua puluh ribu kata per hari. Agaknya, khusus Sophia bisa tiga hingga empat kali lipat dari itu. Dia memang terlahir dengan baterai bicara yang tak terbatas, tidak perlu diisi ulang.
Karena kepiawaian berbicara yang tanpa mau mendengarkan itu, dia jadi sering kali terbalut asumsi penilaiannya sendiri. Menduga-duga peristiwa seperti apa yang ada di dalam benaknya. Aku tidak menyalahkan sikapnya, karena aku sendiri sering terjebak dalam situasi kesalahpahaman seperti ini. Jadi, di samping dia tidak mau berusaha mendengar, aku sendiri juga tidak berniat untuk membuka diri. Ada banyak hal yang tidak dia ketahui tentang diriku, kakak kandungnya sendiri yang tinggal seatap sejak dia dilahirkan. Hampir dua puluh lima tahun.
Namun, aku tetap saja tidak bisa memaklumi tindakan dan semua ucapannya. Sejak saat itu, hubungan kami menjadi renggang. Bukan dia yang membuat jarak, melainkan aku yang sengaja membentangkan jarak. Lebih jarang berbicara, apalagi hanya basa-basi membicarakan hal yang remeh-temeh. Dan, aku membawa memori menyebalkan itu hingga hari ini. Sedangkan, Sophia sudah melupakan kejadian itu setelah mengucap maaf selang tiga hari dari pertengkaran itu.
Dia memang gampang memaki dan meneriaki orang saat orang itu seolah bertindak di luar batasnya. Namun, juga mudah melupakan pertengkaran. Sedangkan, aku harus bersusah payah menetralkan hati dalam jangka waktu tertentu. Apalagi, kalimat makian itu dilontarkannya kepadaku tanpa mau memahami terlebih dulu. Ketajaman lidahnya cukup menumbangkan hati banyak orang, terlebih Mama yang berulang kali nelangsa saat Sophia selalu salah paham dan meruncingkan pertengkaran. Walaupun begitu, dia satu-satunya anak Mama yang pembawaannya paling lemah lembut dan ceria. Bahkan, orang luar tidak akan percaya kalau Sophia mempunyai lidah yang begitu tajam. Tidak sepertiku yang selalu datar, tanpa ekspresi dan tidak banyak bicara, serta selalu menimbulkan banyak kesalahpahaman.
Sejak diterima bekerja menjadi staf purchasing di salah satu perusahaan penyedia minuman isotonik dan energy bar di Pasuruan, Sophia selalu menghabiskan hari Minggu-nya di kamarku. Sejak itu pula, dia yang mengambil alih perihal cicilan rumah. Bebanku jadi berkurang dan cukup ringan, walaupun pada awalnya aku khawatir kalau dia akan bersikap mentang-mentang. Sejauh ini pembawaanya bisa lebih sabar dari sebelumnya. Sebuah rekor yang cukup fantastis. Mengingat dia selalu perhitungan perihal harta benda.