BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #7

TIM YANG KOMPAK

“Semoga cucuku Reta mendapatkan jodoh yang terbaik,” celetuk Mbah Ti yang sekarang sedang duduk di sebelahku.

Aku mengamini doa itu seraya melempar senyuman serileks mungkin. Firasatku benar. Aku tidak bisa terbebas dari wejangan dan celotehan Mbah Ti kalau sedang membahas perkara jodoh. Aku tidak bisa menyelinap, apalagi serta merta kabur. Hari Minggu-ku benar-benar kacau. Tidak bisakah orang-orang membiarkanku di dalam kamar yang tertutup tanpa diganggu? Aku hanya butuh energiku kembali. Aku benar-benar butuh sendirian. Aku benar-benar butuh pulang untuk menemui diriku sendiri.

“Jangan terlalu pilih-pilih. Ingat pesanku, Nduk(7). Yang penting calon cucu menantu harus sayang kamu, sayang keluarga, dan bertanggung jawab.” Mbah Ti mencodongkan tubuhnya untuk mendekat. “Jangan cari yang seperti Papa-mu,” bisiknya seraya mengerling kian kemari.

Tanpa diingatkan pun, aku tidak akan pernah mencari kriteria seorang suami yang seperti itu. 

Inggih(8), Mbah Ti.”

“Kalau sudah dapat, aku langsung dikabari, biar bisa mencocokkan weton dan hari baik pernikahan kalian.”

Hari gini, apa masih musim pakai perhitungan weton? Pikirku. Semua hari itu baik. Enggak ada hari sial dan semacamnya. Mbah Ti ini salat rajin. Bahkan, muazin masih berjalan ke musala saja Mbah Ti sudah siap di atas sajadah. Kalau ada pengajian selalu duduk paling depan. Katanya, biar materi kajiannya merasuk dan dapat berkahnya penceramah. Apalagi waktu Ramadan, saat saf salat tarawih sudah berkurang berbaris-baris, Mbah Ti tetap bersikeras menempati saf terdepan bersama kawan-kawannya yang seumuran. Namun, Mbah Ti masih bersikeras memercayai benda atau sesuatu selain Allah. Aku hanya mampu mengucapkan sanggahan itu di dalam hati.

“Apa harus begitu ya, Mbah?”

“Harus, Nduk. Tidak boleh melangkahi adat dan tradisi. Besan Tiani pasti juga sepakat denganku. Dia malah lebih jago menghitung kecocokan weton dan hari baik, malah di luar kepala. Papa-mu pindah rumah ke sini kan juga berkat hitungan hari baik Besan Tiani. Makanya, rumah ini aman.”

Padahal, perihal rumah aman atau tidak aman kan berkat Allah Maha Pelindung, pikirku. Sutiani yang disebut Besan Tiani oleh Mbah Ti adalah ibu dari Papa. Mereka berdua sama. Sama-sama kolot. Apalagi kalau ketemu Mbah Tiani, segala hal bisa dibilang pamali. Berdiri di ambang pintu, pamali. Makan dengan menating piring, pamali. Walaupun, tangan yang digunakan untuk menyuap tetap harus tangan kanan sesuai ajaran Kanjeng Rasul. Bahkan, telinga cangkir yang kebalik pun sudah bisa meloloskan omelan Mbah Tiani. Zaman mereka hidup dengan zamanku hidup kan berbeda. Saking kolotnya, dua nenekku ini seakan hidup pada zaman sebelum penjajahan, bagai titisan putri Kerajaan Singasari yang terdampar di kehidupan modern.

Aku menghela napas dalam. “Kalau misal jodohku orang luar Jawa, bagaimana?”

“Tetap dihitung.”

“Kalau wetonnya tidak cocok, bagaimana? Sedangkan, orang luar Jawa tidak pakai perhitungan weton seperti kita. Apa ada toleransi?”

Pandangan Mbah Ti menyelisik. “Memangnya sudah ada calon orang luar Jawa?”

Lihat selengkapnya