BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #9

PENGORBANAN

Semburat jingga mulai membentang melukiskan pelataran senja yang begitu cantik. Agaknya, awan gelap sedang enggan bertandang. Suhu udara memang cukup hangat. Masih bertahan di angka dua puluh empat derajat celsius. Namun, angin kencang mulai menerjang beberapa pohon dan membuat ranting-rantingnya meliuk ke arah tertentu. Udara jadi mendadak dingin. Sebentar kemudian, lamat-lamat terdengar suara gemuruh. Jangan ke sini dulu, pikirku. Rona senja ini jarang-jarang bisa terlihat semenawan ini di musim-musim seperti sekarang. 

Aku sedang duduk di kursi kayu persegi yang berada di lantai tiga dan sedang tidak ingin beranjak sebelum lantunan suara azan magrib melengking di pucuk-pucuk menara surau. Pemandangan perbukitan di sebelah timur sudah mulai menggelap. Tak lama setelah itu, gugusan kecil kumulonimbus menerobos dan menghalangi sang mentari yang bersiap-siap akan tenggelam. Aku pun beranjak turun bersamaan dengan suara azan yang mulai bersahut-sahutan.

Pukul delapan malam, aku naik lagi ke lantai tiga. Di lantai ini hanya terdapat tempat untuk menjemur seluas delapan belas meter persegi. Ada juga sebuah kandang besar tempat kawanan burung lovebird yang terletak di sisi selatan. Sebuah tempat yang hampir satu tahun ini menjadi tempat favoritku berkontemplasi atau sekadar menikmati pemandangan langit dengan segala corak dan suasananya. 

Baru lima menit berdiri di samping pagar pembatas, aku sudah disuguhi pemandangan kilatan petir yang menyambar dari kejauhan, lebih tepatnya di arah timur. Aku tidak bisa memperhitungkan jaraknya, yang jelas ada di balik bukit. Kilatan petir yang bercorak putih, kuning dan jingga itu sedang menyibak awan hitam dan seolah sedang membelah langit. Bentuknya mirip seperti akar tunggang yang menghunus tanah.

Aku cukup terhibur. Corak warna itu berhasil menggantikan kilauan bintang yang entah sedang bersembunyi di mana. Bergeser sedikit ke arah tenggara, tampak kilatan dari lampu mobil yang sedang melintasi jalan tol Malang-Pandaan. Beradu dengan pendar lampu kendaraan yang berada di bukit di belakang jalan tol. Pendar lampu yang memanjang dan hilang di ujung bukit. Walaupun, terpaan angin malam cukup membuatku kedinginan, tapi tidak menyurutkanku untuk menikmati sajian pemandangan seperti ini.

Getaran ponsel tiba-tiba mengejutkanku. Seseorang yang sedang kutunggu-tunggu akhirnya muncul juga.

“Halo, Mas Are.”

Terdengar suara helaan napas lega. “Akhirnya, bisa nyambung juga. Maaf, aku enggak bisa sering-sering hubungi kamu.”

“Enggak masalah. Pasti baru kelar siap-siap, nih?”

Bermasalah sekali,” tandasku dalam hati. Kalau sikapnya terus-terusan seperti ini bisa membahayakan pertahananku. Masalahnya, aku sendiri juga tidak berusaha menghindarinya.

“Iya, masih mau sarapan. Kamu jam segini sudah kelar bikin pesanan?”

“Baru aja selesai, Mas.”

“Maaf lagi karena semalam aku ketiduran. Aku kepikiran Bapak di kampung yang akhir-akhir ini sering sakit, jadi lebih banyak ngabisin waktu buat hubungi orang-orang rumah juga, baru bisa hubungi kamu.”

Dia seharusnya tidak perlu berulang kali mengucap maaf. Aku menepuk-nepuk dadaku untuk menenangkan diri. Apa aku sudah tercebur terlalu dalam? Atau aku dengan sendirinya yang sudah membangun harapan terlalu tinggi. Masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Masih banyak hal yang harus diprioritaskan dari sekadar mengurusi persoalan hati seperti ini. Masih ada segunung hutang yang harus segera dilunasi.

Malam ini –yang di sana masih pagi–, perbincangan kami berkutat seputar kondisi ayahnya yang sakit dan beberapa cerita tentang pekerjaanku. Dia masih menjadi pendengar yang baik di tengah-tengah kesibukan dan permasalahannya. Begitu juga sebaliknya, aku tidak keberatan meluangkan waktuku untuk mendengarkan ceritanya. Apa hal ini juga disebut pengorbanan? Apa aku sudah tanpa sadar mengorbankan waktuku hanya untuk seorang pria yang bahkan belum pernah kutemui secara langsung?

***

Kalila sedang membantuku mengemas beberapa pesanan dessert box ke dalam kardus pagi ini. Ada salah seorang rekan kerjanya yang berulang tahun. Perayaan ulang tahun selalu berhasil menghasilkan pundi-pundi rupiah. Pasalnya, dessert box yang berukuran large menjadi menu favorit pengganti kue tar.

“Aku penasaran,” ucap Kalila seraya merapatkan kardus dengan selotip. “Apa yang membuatmu bisa percaya sama Are?”

Aku mengendikkan bahu. “Ya percaya aja.”

Lihat selengkapnya