BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #10

MENGUBAH TAKDIR

Tepat setelah Deo berpamitan pulang, terdengar suara pertengkaran dari lantai dua. Tidak lama setelah itu, Papa berjalan cepat menuruni tangga dengan muka ditekuk dan bibir yang mengerucut. Papa melewatiku tanpa menoleh dan melesat keluar rumah.

“Papa-mu ke mana?” tanya Mama saat Papa sudah hilang dari pandanganku.

Aku mengendikkan bahu. “Keluar. Mungkin ke pos ronda lagi.”

“Papa-mu itu ....” Raut muka Mama seperti menahan gemas. Mama mengepalkan kedua tangannya.

“Ada apa lagi?”

“Papa-mu itu enggak ada pergerakan sama sekali. Dikira setelah dapat uang pensiun, semua masalah bisa beres begitu saja. Terus, kalau uangnya habis, kehidupan juga bakal mandek? Aruna sebentar lagi masuk SMA. Biaya SMA sekarang bisa sampai delapan juta lebih.”

“Soal pendaftaran SMA Aruna–”

“Enggak. Mama sudah banyak merepotkanmu.”

“Aku enggak pernah merasa direpotkan, Ma. Justru aku yang sering merepotkan.”

“Papa-mu itu gengsinya gede!” tandas Mama bersungut-sungut. “Mama sudah tanya kerjaan ke mana-mana, tapi malah mereka enggak membolehkan Papa-mu kerja lagi. Mereka bilang, kasihan biar menikmati masa pensiun. Enggak ada yang percaya kalau benar butuh kerjaan. Orang perumahan sini malah tahunya kalau Papa-mu itu sugih duit. Teman-temannya yang sudah pensiun itu saja enggak ada yang menganggur. Ada yang jualan makanan, buka toko sembako, ojek online, sampai tambal ban. Intinya berkegiatan. Papa-mu cuma gede di omongan saja. Mau kerja lagi, tapi hobinya meronda dan pulang jam dua pagi setiap hari. Padahal, di pos ronda cuma ngomongin orang.”

Mama terdiam sejenak. Aku tidak berusaha menjawab dan menunggunya menyelesaikan cerita.

“Dari dulu sampai sekarang, enggak ada perubahan. Enggak ada tanggung jawab sama sekali. Enggak pernah pengertian. Bisanya cuma hidup di ketiak istri. Tadi juga gitu, Mama masih ribet sama pesanan yang mau dikirim jam tiga sore. Tiba-tiba jam setengah tiga, sambat sakit perut. Habis makan pecel pedas di pos tadi malam. Papa-mu itu kan enggak bisa makan macam-macam, tapi enggak bisa mengendalikan nafsu. Apa saja masuk mulut yang penting enak. Kalau sudah begitu repotnya minta ampun. Marahnya ke Mama karena enggak bisa cepat tanggap beli obat sama makanan apa yang dia mau. Kalau enggak dituruti begitu tambah rewel. Kayaknya Mama sudah salah pilih bapak buat kalian.” Mama memijat pelipis seraya menghela napas dalam.

Kalau Papa bisa mengendalikan nafsu, sudah pasti tidak akan ada cerita mengoleksi banyak wanita lain, pikirku.

“Soal gengsi, aku setuju. Soal enggak ada pergerakan, aku sendiri sebagai anak juga enggak bisa menuntut Papa harus kerja lagi atau bagaimana, Ma. Karena aku yang seharusnya menggantikan orang tua buat memenuhi kebutuhan keluarga. Aku cuma gemas kalau Papa selalu merepotkan Mama. Ada saja masalah yang dibuat. Kalau menurutku, Papa sulit berubah karena zona nyaman ini sudah berlangsung puluhan tahun. Mama juga pernah cerita kalau Mama yang selalu memenuhi kebutuhan Papa dari sejak pacaran dulu, kan.”

“Kalau modal cinta saja ya begini jadinya, tapi dulu Papa-mu itu memang paling ganteng seangkatan. Kesan pertama selalu menyilaukan. Mama jadi enggak pernah kepikiran buat menyeleksi hal lain yang jauh lebih penting.” Bahu Mama menurun. “Kalau Mama paksa Papa-mu kerja lagi, jawabnya semoga ada durian runtuh. Durian runtuh dari Hongkong? Kalau mengharapkan durian runtuh, tapi enggak pernah lewat di bawan pohon durian juga percuma. Mau keruntuhan durian dari mana?”

Lihat selengkapnya