Aku mengamati deretan angka yang menghiasi buku catatan keuanganku. Ngomong-ngomong, aku baru saja mendapatkan bonus sebanyak satu kali gaji. Bu Halima secara rutin menambahkan bonus itu setiap hari ulang tahun kantor. Kebetulan hari ulang tahun itu jatuh pada bulan ini. Penambahan penghasilan yang sangat berarti. Aku segera memberikan setengah dari jumlah bonus itu ke Mama dan setengahnya lagi kumasukkan ke dalam tabungan, untuk dana darurat. Mama sempat tidak mau menerima uang itu. Aku terpaksa harus melewati adegan kejar-kejaran terlebih dulu, supaya uang itu berpindah tangan ke Mama. Aku sengaja memberinya uang tunai, bukan transfer. Awalnya, aku sempat tergiur untuk menghabiskan semua uang itu dan pergi ke tempat terpencil selama beberapa hari. Tapi, hei! Aku tidak segila itu.
Kilatan halilintar berpendar menerangi langit. Aku beranjak dan menyibak tirai yang menutupi sebagian jendela kamar. Langit malam seakan berubah menjadi siang beberapa detik. Butiran air hujan mulai datang dengan perlahan. Tak selang beberapa lama, butiran itu berubah menjadi serbuan titik-titik tebal yang berebut menghantam segala permukaan. Cuaca bulan Desember yang sama setiap tahun. Biasanya hujan lebat seperti ini akan semakin menjadi-jadi saat memasuki bulan Februari hingga Maret. Walaupun pergantian musim kadang datang tak menentu, tapi kedatangan lebatnya hujan tak dapat diragukan kesetiannya pada kedua bulan itu.
Aku terpekur memandangi layar ponsel, setelah puas mengamati hujan dari balik kaca jendela kamar. Aku sangat penasaran dengan kabar Are. Aku ingin tahu keberadaan dan kondisinya. Atau pentunjuk apa pun yang dapat melegakan kegusaranku.
Bingo! Dia mengirim pesan.
Maaf, aku belum bisa leluasa pegang HP. Hari ini terakhir kapal drydock. Pekerjaan jadi super sibuk. Aku ini harus sembunyi dan curi-curi waktu dulu. Aku hubungi lagi kalau sudah di Australia. Jaga diri, jaga kesehatan, ya.
Kamu juga harus menjaga kesehatanmu, pikirku. Aku tidak tahu harus merasa sebal atau senang. Sabar, kataku pada diri sendiri. Aku memang sengaja menunggu Are hingga kepulangannya ke Indonesia. Baru setelah itu, aku bisa memutuskan sebuah tindakan. Menyudahi kegelisahan orang-orang perihal hubungan asmaraku, atau menyudahi kekonyolanku menunggu seseorang yang tak pernah kulihat batang hidungnya secara langsung.
Aku memperbesar gambar foto profilnya. Tidak begitu jelas, tapi aku masih bisa membayangkan garis mukanya dari sekali bertatap muka lewat panggilan video beberapa bulan lalu. Aku sempat terkecoh dengan iris matanya yang berwarna kecokelatan. Ingin rasanya melihat mata itu secara langsung.
***
Selagi aku mengempaskan tubuhku ke atas ranjang sebelum bertempur dengan peralatan dapur dan bahan-bahan kue. Papa tergopoh-gopoh menyeka sepeda yang dibelinya dua tahun lalu. Harga sepeda itu cukup mahal, kalau tidak salah delapan juta lebih sedikit. Sepeda itu sudah lama tidak digunakan, ada sekitar dua bulan mangkrak di teras depan. Aku sendiri sudah tidak bisa menyempatkan waktu untuk memakainya berolahraga. Masih ada satu sepeda lagi dengan merek yang sama, tapi harganya lebih murah. Sepeda itu malah hampir tidak pernah kupakai karena model joknya masih terlalu pendek walaupun sudah dimaksimalkan. Apalagi dengan tinggi badanku yang hampir mencapai seratus tujuh puluh sentimeter.
Aku mengernyit, lalu mengangguk samar saat dua orang pria paruh baya datang. Transaksi itu berjalan sangat cepat. Hanya dalam waktu lima menit, Papa sudah menggenggam berlembar-lembar uang seratus ribuan.
Sepeda ini sudah barang yang ke sekian. Aku jadi bertanya-tanya, barang apa lagi yang akan dijual Papa? Dari kamera, sound system, hingga puluhan kilo koran-koran bekas. Jika kebutuhan masih terus berjalan dan masih ada nyawa yang terkandung badan, menjual barang bukan sebuah solusi untuk mendapatkan uang. Biasanya, uang hasil menjual barang itu hanya sedikit yang diberikan Mama. Mungkin sekitar dua puluh persennya saja, bahkan terlalu banyak. Sisanya entah dihabiskan untuk apa. Kalau semua harta habis apa lagi yang akan dijual? Tanyaku dalam hati. Sederet sanggahan dan teori-teori itu hanya mampu kuteriakkan di dalam benak.
Sejak aku memutuskan untuk lepas dari hubungan terakhirku yang banyak huru-hara beberapa waktu lalu, sejak saat itu pula aku menjaga jarak dengan Papa. Bahkan, Are yang keberadaanya ratusan mil jauhnya malah terasa lebih dekat. Aku sengaja menutup diri demi mental yang lebih sehat. Lagi pula, sekalipun aku membuka diri, toh Papa tidak akan serta merta menanggapi dengan benar. Malah yang ada banyak menimbulkan pertengkaran, lantaran Papa selalu melontarkan komentar tanpa dasar. Berada di dekatnya saja sudah cukup menyedot energiku, apalagi harus bertengkar. Sungguh akan membuang-buang tenaga.
Dering telepon menyibak keheningan kamar. Aku mengernyit saat melihat sebuah nama yang tidak kuharapkan telepon di luar jam kantor. Aku terpaksa mengangkat telepon itu karena tahu akibat yang dihasilkan kalau aku mengabaikannya.
“Halo, Pak Odi,” sapaku mencoba untuk senetral mungkin.
***
Pukul delapan kurang sepuluh menit, Pak Odi dengan mobil sedannya yang kinclong sudah bertengger di depan gerbang kantor yang masih tertutup. Sialnya, aku datang paling awal. Sudah dapat dipastikan orang tua itu akan mengomel laiknya seorang bos yang mendapati karyawannya datang terlambat. Firasatku sudah buruk sejak Pak Odi meneleponku kemarin malam.
“Jam berapa ini? Jam segini kok belum buka kantor!” seru Pak Odi seraya menurunkan kaca matanya ke tengah hidung.
Benar dugaanku. Aku segera meminta pertolongan dengan cara mengirim pesan di grup kantor. Meminta rekan lain untuk segera datang dan menyelamatkanku dari orang tua ini. Ngomong-ngomong, grup kantor terbagi menjadi tiga bagian. Grup pertama berisi lengkap semua anggota, grup kedua hanya berisi rekan kantor tanpa Bu Halima, grup ketiga hanya berisi rekan kerja wanita. Aku berkoar-koar di grup kedua. Tidak ada jawaban. Mereka mungkin masih di jalan. Semoga saja.