Mama mengeluhkan perihal kepalanya yang pening tiga hari belakangan ini. Aku sudah membawanya ke dokter kemarin sore, tapi tidak ada kemajuan. Kondisinya malah semakin parah malam ini. Jadi semakin tidak punya daya untuk bangun juga sulit makan. Pandangannya juga semakin kabur sekalipun memakai kaca mata yang memang sudah dikenakannya sehari-hari. Mama juga baru mengeluhkan perihal kepala bagian atas yang sangat sakit. Aku berniat untuk membawanya kembali ke dokter, tapi ditolak. Mama hanya menginginkan tidur tanpa gangguan. Bersamaan dengan itu, aku mulai cemas dengan kondisinya yang kian melemah.
Tadi sore, waktu aku membawakan Mama makanan ke dalam kamar, kudapati bola mata kanan Mama yang bergerak sendiri tak tentu arah. Gerakan itu sangat cepat, mungkin sepersekian detik. Padahal, Mama sedang memandangku. Sepertinya, Mama juga tidak menyadari kalau bola matanya bergerak sendiri. Aku sudah berencana membawa Mama ke dokter lagi besok pagi sebelum masuk kantor.
Aku memandangi punggungnya yang sedang tergolek di atas tempat tidur dengan perasaan yang campur aduk. Detik itu juga aku bersyukur karena lahir dari rahim seorang wanita yang kuat. Dua puluh delapan tahun mempertahankan pernikahan dengan pria seperti Papa adalah sebuah keputusan yang sangat dramatis. Keputusan itu dilakukan Mama hanya supaya anak-anaknya bisa pulang dengan memiliki keluarga yang lengkap. Pengorbanan yang sungguh fantastis. Aku tak sanggup membayangkan kerelaan berkorban dengan hantaman ujian yang seperti itu. Kutukan ini cukup di Papa saja, jangan sampai ke anak-anak, menantunya, apalagi ke cucu-cucunya.
Mama tiba-tiba beringsut, membalikkan badan dengan perlahan. Pandangannya sudah terarah dan kembali seperti sedia kala hanya dengan lima belas menit tertidur pulas. Aku tetap akan membawanya ke dokter besok pagi.
“Ada alasannya Mama enggak mau pergi ke dokter lagi,” celetuk Mama seraya meluruskan kaki.
Aku mengangkat kedua alis, Mama seperti mengerti apa yang sedang kupikirkan.
“Apa?” tanyaku
Mama berusaha bangun dan menyandarkan punggungnya di dinding. Kami sekarang duduk berhadapan.
“Mama sebenarnya enggak mau ngomong ini, karena nanti pasti jadi membebani kamu.”
“Mungkin dengan Mama cerita bisa buat hati lebih plong. Ada apa?”
“Kamu tahu kan kalau Mama jadi bendahara POS(15) di kelas Aruna dari dia kelas satu dulu? Karena Aruna masuk di kelas akselerasi, otomatis dia lulus satu tahun lebih cepat.”
Aku hanya mengangguk tanpa menyanggah, walaupun menyadari kalau Mama tidak langsung mengatakan inti permasalahannya.
“Jadi uang itu mau dipakai buat rekreasi kelulusan setelah adikmu selesai ujian nanti. Masalahnya, uang itu Mama pakai, Re.”
Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Estimasiku, Mama mungkin tidak menggunakan uang itu lebih dari lima juta rupiah. Jadi, kalau jumlahnya sebesar itu masih bisa dikejar. Walaupun aku sendiri mau tidak mau harus mengencangkan ikat pinggang berkali-kali lipat. Apalagi dengan masih menanggung kewajiban membayar hutang Papa.
“Berapa yang terpakai?”
“Dua puluh lima juta, Re.”
Aku menelan ludah. Seketika itu kepalaku terasa dihantam petir. Berdenyut hebat.
“Uang sebanyak itu dibuat apa, Ma?” tanyaku masih berusaha setenang mungkin, walaupun suaraku mendadak parau dan bergetar.