“Aku minta maaf soal jawabanku waktu itu.”
Aku mengernyit. “Jawaban apa?”
“Burung dalam sangkar.”
Aku mengibaskan tanganku lagi. “Enggak perlu minta maaf dan enggak perlu dibahas,” ucapku seraya memasukkan potongan ayam ke dalam mulut. Rasa salted egg yolk chicken ini cukup enak. Aku tidak akan membiarkan pembahasan perihal orang tua culas itu mengacaukan kelezatan makanan ini.
“Mama-ku suka dessert box yang tiramisu,” tampaknya Deo berusaha mengalihkan topik. “Mama mau pesan yang tiramisu lagi, tapi ukuran medium. Karena yang lain lebih suka cokelat atau matcha. Mereka semua juga bilang enak.”
Aku tersenyum tipis. “Makasih.”
“Sori, Re. Kamu enggak lagi marah ke aku, kan?”
Aku mengernyit. “Maksudnya?”
“Muka kamu kayak lagi marah ke aku.”
Aku tersenyum samar. “Mukaku memang gini dari lahir, malah sejak masih janin, mungkin. Jadi banyak yang salah paham. Kita sudah sekantor hampir dua tahun. Kamu pasti juga tahu kejadian yang selalu bikin orang-orang salah paham.”
Deo mengangguk. “Mau enggak salah paham gimana, kalau diam aja sudah mirip kayak Maleficent. Pandangan kamu itu, loh. Kadang bikin aku merinding, tapi juga kagum.”
“Memangnya, aku genderuwo? Sampai bikin merinding.”
“Maleficent aja, sih. Walaupun nyeremin, tapi tetap cantik.”
“Aku harus cepat pulang, nih. Lagi banyak pesanan.”
“Siap!” seruan Deo sudah bagai prajurit yang siap tempur. “Habisin dulu makananmu itu, baru kuantar pulang.”