BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #14

TERJERAT SENAR

Minggu terakhir pada bulan Desember menjadi puncak kesibukan setiap penutupan tahun. Pasalnya, banyak bank yang sedang bersikeras mencapai target dengan mengejar banyak pencairan. Apalagi hari ini adalah hari terakhir sebelum libur tahun baru. Besok sudah tanggal satu Januari. Kenapa waktu sungguh begitu cepat berlalu?

Bersaaman dengan waktu yang melesat tanpa sudi menoleh dan menunggu, aku masih merasa di sini-sini saja sedang jalan di tempat, tanpa membuat perubahan sesenti pun. Aku juga tidak bisa meloloskan diri darinya dan akan semakin kehilangannya saat aku menunda-nunda pekerjaan, apalagi berhura-hura.

Sejak peristiwa penolakanku kepada Deo tempo hari, kami jadi jarang bicara. Sekalipun butuh, dia tampak menghindari adegan perbincangan, apalagi bertatap muka denganku. Akhir-akhir ini, Deo dan Mbak Alin jadi sering berdua. Dari berangkat dan pulang kantor bersama, makan siang, nongkrong di kafe, atau menghabiskan hari Minggu dengan jalan-jalan di CFD. Apa peduliku? Mereka juga lebih cocok bersama-sama begitu. Seperti saling melengkapi satu sama lain.

Hari ini, kantor hanya dihuni olehku, Mbak Sasi, dan Mbak Hana. Rekan-rekan yang lain sedang berpencar menyelesaikan tugas. Pada hari terakhir seperti ini banyak yang harus dikerjakan di luar kantor. Apalagi ada banyak pencairan bank yang tidak bisa ditinggal. Kabarnya, tadi pagi juga ada pencairan sepuluh miliar. Uang segitu sebanyak apa? Kalau tiba-tiba aku kebagian durian runtuh berupa uang sepuluh miliar, mungkin keluargaku akan terbebas dari hutang. Jangan sepuluh miliar, dua ratus juta juga sudah syukur. Mama tidak perlu lagi susah payah bangun pagi untuk merampungkan pesanan nasi kotak. Terlebih, aku jadi mempunyai modal untuk membuka usaha dan investasi. Pikiran yang konyol atau angan yang terlalu tinggi?

Aku menampar pipiku cukup keras untuk mengembalikan kesadaran. Benar kata Mama, kalau mengharap durian runtuh tanpa lewat di bawah pohon durian juga percuma. Mau kejatuhan durian dari mana? Aku tidak bisa hanya mengandalkan doa dengan angan-angan yang terlalu tinggi. Doa tanpa upaya juga percuma. Mengharap durian runtuh dengan upaya berjalan di bawah pohonnya masih cukup logis dan berpeluang. Kalau realitanya aku berjalan di antara semak belukar di pekarangan, mana bisa aku mendapatkan durian runtuh? Sedangkan, tidak ada pohon durian di pekarangan itu. Bagaimana kalau aku memanfaatkan pekarangan itu untuk ditanami durian? Apakah hal ini termasuk peluang dan ide yang bagus?

Bersamaan dengan itu, Bano membuka pintu utama dengan cukup tergesa. 

Kuangkat kedua alis seraya mengerling ke arah jam tangan. “Kok sudah balik? Ada yang ketinggalan atau pindah tempat dadakan?”

Dia menggeleng seraya melempar senyuman lebar. “Sudah beres semua. Aku memecahkan rekor penutupan tahun. Aku bisa pulang cepat kali ini.”

Aku mengernyit. “Kalau sudah selesai kenapa harus buru-buru? Kenapa harus balik kantor?”

“Aku penasaran. Kamu sama Deo lagi berantem?”

Aku berdecak sebal. “Kamu rela balik kantor cuma karena ini?”

Lihat selengkapnya