Baru jam delapan lewat sepuluh menit, telapak tanganku mendadak lengket terbalut oleh lem kertas. Tidak hanya telapak tanganku, rekan-rekan lain pun begitu. Bano melumuri semua tempat alat tulis beserta isinya di setiap meja yang ada di kantor dengan lem kertas, kecuali meja Bu Halima. Keusilannya sudah menggapai gelar doktoral. Bagian cangkir tehku juga menempel di atas kertas bekas di sebelah tumpukan berkas di meja. Bano sengaja memberi alas kertas bekas supaya tidak merusak meja. Pria itu benar-benar kurang kerjaan.
“Kamu rela datang setengah delapan hanya untuk semua ini?” tanyaku seraya mencuci tangan di wastafel depan kamar mandi.
Bano hanya melempar cengiran puas. Selain piawai menghafal setiap kebiasaan dan memberikan perhatian lebih kepada orang-orang terdekatnya, Bano juga gemar berbuat usil. Satu tahun lalu, helmku pernah diisi lusinan es batu yang berbentuk persegi kecil-kecil. Bayangkan saja, saat aku hendak pulang dan memasang helm itu di kepala. Aku sempat mengomelinya habis-habisan. Belum lagi saat Mbak Sekar pernah terkunci di dalam gudang penyimpanan akta di lantai dua. Semua hal gila itu hasil dari perbuatan Bano. Dia sudah berulang kali kena omelan, tapi tak mampu menyurutkan keusilannya. Aku memahami maksud dari semua tindakannya itu ia lakukan untuk menghibur dirinya sendiri.
“Habis berantem lagi sama Abah-mu?” tanyaku memberanikan diri. Bano selalu melancarkan keusilannya saat hatinya sedang jengkel atau marah seusai bertengkar dengan ayahnya.
Bano tidak menoleh. Dia menyibukkan diri dengan memfotokopi dokumen.
“Atau ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyaku lagi.
“Ayo, kita makan-makan nanti sore. Aku sudah bilang ke teman-teman yang lain. Ada kedai yang baru dibuka.” Bano seperti berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Sori. Aku enggak bisa ikut.”
“Lagi banyak pesanan?” tanya Bano seraya menoleh ke arahku.
Aku mengangguk samar. Padahal, aku sedang berbohong. Sebisa mungkin, aku harus bisa menghindari ajakan-ajakan semacam ini.
“Sejam aja masa enggak bisa? Aku yang traktir, seperti biasa.”
Aku menelan ludah. Makan-makan gratis. Aku harus tetap fokus. Sekalipun gratis, aku harus tetap pada pendirian. “Sori banget, Bano. Aku benar-benar enggak bisa.”
Bano mendesah kecewa. “Oke, lain kali harus bisa. Kamu sudah berulang kali menolak ajakanku akhir-akhir ini.”
“Nanti kalau sudah enggak sibuk.”