BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #17

BERHARAP YANG BENAR

Selagi kebanyakan orang mengeluh entah secara tatap muka atau di status media sosial mereka. Aku merasa lebih mudah berpura-pura untuk baik-baik saja daripada harus mempertontonkan keluhan. Aku hanya tidak mau dikomentari dan mengantisipasi nyinyiran netizen. Agaknya, aku jadi tidak hanya pandai mengelabuhi orang lain, tapi juga diri sendiri. Mengesampingkan emosi dengan berpura-pura selalu paripurna tanpa masalah. Lama-lama jadi mati rasa dan hambar. Cukup sulit untuk benar-benar merasakan apa yang sedang terjadi. Datar. Bagai robot yang sudah terprogram melakukan beberapa kegiatan tertentu, tanpa melibatkan perasaan dan emosi.

Sejak menerima telepon dari Are tempo hari, aku jadi gemar termenung cukup lama. Bisa sampai setengah jam tidak melakukan apa-apa seperti malam ini. Tatkala radarku mengatakan kalau perutku harus menyantap makanan, barulah aku beranjak dan berusaha keluar dari lamunan panjang ke alam kesadaran.

“Makan kok pakai mangkuk. Pakai piring!” seru Papa seraya menunjuk piring di rak. “Makan pakai mangkuk malah bisa membuat impianmu tidak melebar. Cupet, muter di situ-situ saja.”

Aku sudah bisa memastikan kalau peraturan konyol ini ajaran dari Mbah Sutiani.

“Makan soto lebih enak pakai mangkok, Pa,” jawabku seraya menyendok nasi.

“Ini anjuran orang tua zaman dulu. Kalau mau sukses lebih baik menurut nasihat orang tua.”

Kedataranku pecah setelah mendengar kalimat itu. Perasaan dan emosi seketika datang bagai air bah.

“Mau makan pakai baki juga tidak bisa sukses kalau tidak diiringi kerja keras,” tandasku.

“Bisa, yang penting menurut kata orang tua. Makanya, kamu belum juga sukses. Kelakuanmu kayak begini.”

Tubuhku seperti dialiri listrik bertegangan tinggi. Tingkat kesabaranku telah sirna. Ibarat dinding bendungan yang runtuh. “Lah, Papa sendiri makan pakai piring lebar setiap hari belum juga bisa sukses.” 

Tak gentar, aku menatap mata Papa yang mulai memerah dan membeliak. “Jangan sok kamu! Mentang-mentang mampu cari duit sendiri. Aku memang sudah pensiun! Tidak punya penghasilan. Tapi, aku masih punya harga diri.”

Harga diri apanya?

“Papa memang selalu gitu. Selalu berburuk sangka. Tidak ada hubungannya mau Papa kerja atau pensiunan. Situasi akan tetap sama kalau Papa tidak pernah mau berubah. Papa akan tetap jadi orang yang seperti ini. Selalu menyusahkan keluarga!”

Selagi aku mencengkeram kain lap, Mama berlari tergopoh-gopoh dari lantai dua. Mama menarik lenganku sekuat tenaga seraya membisikkan isyarat untuk menyudahi ketegangan ini. Sedangkan, aku masih tak ingin lepas dari situasi ini. Entah apa yang sedang menjalari aliran darah hingga hatiku. Aku benar-benar ingin melawan pria paruh baya yang berada di hadapanku sekarang. Raut muka Papa tampak merah padam. Aku semakin ingin mengalahkannya hingga membuatnya limbung. Bahkan, aku tidak ingin dia hidup di dunia ini. Aku membencinya melebihi apa pun. Aku membenci harus berbagi oksigen dan bernapas di ruang atmosfer yang sama. Papa tampak hanya mengepalkan tangan tanpa membuat pergerakan.

Aku buru-buru membuang muka untuk menghindari tindakan yang di luar kendali. Apalagi, saat melihat air mata Mama yang hampir saja luruh. Hatiku tak karuan dibuatnya. Raut wajah itu berhasil meredakan amarahku.

Aku mengirim pesan teks ke Kalila:

Aku mau menginap di tempatmu malam ini.

Lihat selengkapnya