BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #18

KANDANG SINGA

Sabtu pagi yang cukup cerah bersahabat. Bentangan langit biru dengan gugusan awan yang menyebar sedang menyapa dengan riang. Kota Malang hanya dikunjungi awan kelabu tanpa tetesan air pada waktu siang saja selama dua hari ini. Sabtu ini, aku tidak kebagian daftar jaga kantor alias libur. Tapi, tetap lembur memasak pesanan. Mama juga bersikeras ikut lembur untuk merampungkan pesanan nasi kotak, walaupun sudah kularang dengan berbagai macam cara.

Aku sesekali mencuri pandang ke arah wanita paruh baya yang kini tengah berdiri di sampingku. Dari zaman bujang hingga hari ini, berat badan Mama hampir tidak pernah berubah. Mama seperti terlahir dengan kelebihan anti gemuk bahkan tidak mungkin sampai obesitas, seperti Papa. Sebanyak apa pun makanan yang disantap, tidak akan pernah membuat Mama bertambah berat badan. Mama pernah cerita, sewaktu hamil dulu juga tidak bisa segemuk orang hamil kebanyakan. Aku melihat sendiri fotonya saat mengandungku.

Aku baru menyadari beberapa hal, setelah melihat pipi tirus yang sempat berisi saat bujang dulu malah semakin tirus dilahap waktu. Sejarah kehidupan Mama cukup menorehkan banyak drama. Lahir ke dunia dengan ayah yang kabur menikahi wanita lain. Saat berumur dua tahun malah ditinggal Mbah Ti minggat ke Jakarta. Setelah Mama berumur enam belas tahun, Mbah Ti baru pulang ke Malang dengan membawa suami baru dan seorang anak lelaki yang cukup menyusahkan Mama. Kepulangan Mbah Ti itu terpaksa, lantaran jadi buronan penggelapan uang bosnya di Jakarta. Lalu, saat beranjak dewasa Mama bertemu dengan Papa yang hanya bisa menebar janji manis, tapi beracun bagai bisa ular. Hingga saat ini, penderitaan itu masih saja berlanjut. Aku sendiri belum berhasil membebaskannya dari penderitaan itu. 

Bongkahan sebesar batu-batu tebing terasa mendadak sedang menghantam kepalaku dan memenuhi seluruh rongga dada. Seakan mencekat, membuat sesak, hingga sulit untuk bernapas. Aku jadi teringat slogan yang selalu digenggam erat keluarga Mama secara turun temurun. Mama tanpa sadar juga menganut slogan itu hingga hari ini. Mama terlalu takut bergerak dan membuat perubahan. Terlebih Papa. Walaupun, berasal dari keluarga yang cukup terpandang dengan ayah yang seorang sersan. Tidak membuat Papa menjadi seorang anak yang pantas terlahir dari keluarga baik-baik.

Hanya Mbah Ti satu-satunya orang yang bisa memutus slogan tradisi keluarga itu, tapi dengan cara yang tidak benar. Aku tidak mau minggat seperti itu. Pertemuan Mama dengan Papa juga tidak bisa membawa perubahan karena tidak ada yang mau keluar dari zona nyaman. Mama mengizinkan Papa berbuat seperti itu dan nyaman dengan penderitaan yang berlangsung puluhan tahun. Sedangkan, Papa sudah nyaman bergantung kepada seorang wanita yang mau merawatnya melebihi ibunya sendiri. Mbah Sutiani saja selalu menekuk muka kalau Papa sedang berkunjung. Aku pernah tidak sengaja melihat raut kebencian itu saat melihat Papa datang. Wajah Mbah Sutiani akan berubah ramah saat melihat orang yang datang bersama Papa, bukan kepada Papa. Kabarnya, dari kelima anak Mbah Sutiani, memang hanya Papa yang selalu menyulut masalah dan kemarahan sejak dulu.

Satu hal krusial yang baru kusadari adalah, sekeras apa pun aku berusaha melepaskan penderitaan keluarga ini, tidak akan pernah berhasil jika Mama dan Papa masih saling sepakat untuk menyakiti dan disakiti. Zona nyaman tidak selalu menjerat korbannya berada dalam kenyamanan. Namun, juga menjerat korbannya menjadi nyaman di dalam kubangan penderitaan. Aku sempat bergidik, bahkan merinding saat fakta ini mendobrak kesadaranku. Aku tidak mau terseret ke dalam kubangan itu. Kalau Mama dan Papa tidak mampu keluar sendiri dari dalam kubangan jelaga itu, aku yang akan menyeret dan membebaskan mereka dengan tanganku sendiri.

“Sebenarnya, ada apa?” tanyaku saat Mama memindahkan wortel yang baru saja dikupas ke dalam baskom besar.

“Apanya?” Mama balik bertanya.

“Mama jadi sering pusing dan sulit makan. Sebenarnya, ada masalah apa?”

“Cuma kecapekan.”

Aku menggeleng. “Enggak. Mama bukan orang yang gampang capek. Bukan orang yang gampang sakit juga. Aku yakin pasti ada sesuatu. Ada masalah yang Mama simpan sendiri.”

Mama meletakkan baskom itu di sebelah baskom besar lain yang berisi buncis di atas meja makan. Mama lalu menarik kursi dan duduk bersandar. Bibirnya bergetar. Firasatku buruk. Aku seperti bisa mencium bau masalah hanya dengan melihat sekilas raut wajah itu.

“Uang hasil jual motor terpakai buat bayar BPKB(17) sepeda motor yang digadaikan Papa-mu tiga bulan lalu. Jadi, uang itu tinggal setengah sekarang. Mama jadi mengajukan hutang lagi buat menambal kekurangan uang POS. Pakai BPKB yang baru diambil itu.”

Lihat selengkapnya