BINAR ANGAN

Claudia Lazuardy
Chapter #19

PASRAH YANG TERARAH

Kedua alis Pak Odi terangkat saat melihatku. 

“Jadi, ini rumahmu? Bagus juga.” Pak Odi berkacak pinggang. “Harusnya pesanan kayak gini diantar. Masa, suruh ambil sendiri? Cepat pindahkan ini ke mobil!” perintah Pak Odi ke salah seorang pemuda.

Aku melipat tangan di depan dada. “Bapak sendiri yang minta diambil. Kalau dari awal minta diantar jelas sudah saya antar dari tadi.”

Kedua pemuda yang berada di belakang Pak Odi tampak beradu pandang.

“Halah! Wong ini aja telat. Aku minta–”

Aku melempar senyum seraya menghadapkan layar ponsel Mama ke wajahnya. “Bapak sendiri yang bilang kalau mau diambil jam tiga.”

“Aku salah ketik!”

“Sepertinya, Bapak harus periksa ke dokter mata lagi. Mungkin minusnya sudah bertambah.” Aku menunjuk kaca mata yang tergantung di leher dengan rantai berwarna emas.

“Kalau ngomong sama orang tua yang sopan!” seruan itu bersamaan dengan Bano yang berjalan menghampiri kami. “Anak kayak gini kok bisa jadi stafnya Halima. Enggak sopan begini. Aku mau ketemu sama yang menerima pesanan, yang tadi nerima telepon!”

Aku mengulurkan telunjuk kananku ke arahnya. “Bapak boleh semena-mena, boleh memakiku, boleh menghinaku di kantor, tapi enggak di sini, Pak. Siapa pun yang berani memaki Mama saya harus berhadapan dengan saya. Selagi kami benar!”

Aku mendengar suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Aku yakin, itu suara langkah kaki Mama. Bano buru-buru meremas lengan kananku seraya berbisik. “Jangan diterusin, Re. Percuma.”

“Enggak ada yang percuma. Orang sepuh ini harus dikasi pelajaran.”

“Loh, si pemburu liar?” Pak Odi menunjuk Bano dengan cengiran.

Bano mendesah sebal. “Saya punya nama, Pak. Nama saya Bano, bukan pemburu liar.”

“Habisnya, kamu memilih burung liar di hutan daripada burung di sangkar.”

Mama meremas lengan kiriku. “Jangan begitu, Reta.”

“Nah, benar begitu. Suruh yang sopan sama orang tua! Didik anaknya yang benar!”

Aku melepaskan tangan Bano dan Mama dengan kasar, lalu melangkah cepat ke arah pria sepuh yang secara refleks melangkah mundur dengan wajah panik juga heran.

“Kalau Bapak sopan, saya bisa segan. Mulut Bapak itu sudah enggak sopan dari pertama kali kita ketemu. Suka menghina, marah-marah enggak jelas, mencaci maki orang yang tidak salah. Saya tidak mau melihat Bapak menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Jangan pernah pesan masakan di sini lagi.”

Langkah Pak Odi terhenti saat menemui dinding. “Lihat saja, apa yang bisa kuperbuat! Kamu bakal dipecat sama Halima!”

Aku tergelak pelan. “Tidak ada hubungannya. Coba saja.”

Lihat selengkapnya