Seumur hidup, aku tidak pernah berada di dalam rapat keluarga. Kami sama sekali tidak pernah merembukkan sesuatu. Jarang duduk bersama sekadar menonton televisi atau makan. Sekalipun semua anggota keluarga berada di dalam satu rumah, tapi mempunyai kegiatan masing-masing. Sebab hal ini pula, keluargaku sangat rawan konflik dan salah paham. Lantaran kurangnya komunikasi. Aku sendiri jadi terbiasa membuat keputusan secara mandiri, tanpa melibatkan pendapat atau saran dari anggota keluarga, kecuali Mama.
Rapat ini memang sengaja tidak melibatkan Sophia dan Aruna. Alasan pertama karena Sophia bukan orang yang mudah diajak berunding dengan Papa. Alasan kedua karena Aruna masih belum cukup umur untuk bisa diajak merundingkan masalah seperti ini.
Suasana jadi terkesan cukup canggung dan jadi merasa tidak bermanfaat saat melihat Papa yang sedari tadi menekuri ponsel. Papa hanya berdeham dan tidak berusaha menyanggah saat aku memintanya untuk berhenti berhutang, menjual, dan menggadaikan banyak barang. Entah saking seringnya sebal bahkan membenci pria paruh baya itu. Aku sampai mati rasa. Kondisi keluarga ini sudah sangat kritis. Sebelum biduk yang berjalan dua puluh delapan tahun ini semakin bocor ke mana-mana, masing-masing anggota keluarga harus saling berperan untuk menambal. Satu-satunya tambalan yang ampuh saat ini hanyalah komunikasi. Aku sebagai pemeran pendukung harus membantu pemeran utama untuk keluar dari masalah mereka.
“Aku harap, Papa bisa memahami perkataanku.” Aku mulai membuka suara lagi saat suasana jeda keheningan malah menaikkan level kecanggungan.
“Papa juga tidak mau hutang-hutang lagi, Re. Tapi, kebutuhan hidup semakin tinggi.”
Aku nyaris mencebikkan bibir. “Kebutuhan hidup Papa cuma makan sama beli pulsa. Semua angsuran hutang yang harus Papa bayar sudah kami tanggung. Biaya sekolah sama cicilan rumah sudah diambil alih Sophia. Aku minta tolong, gaya hidup Papa ditekan dulu. Untuk kebaikan bersama.”
Papa mendelik seraya meletakkan ponselnya di atas meja. “Kamu sudah mulai perhitungan? Mentang-mentang sudah bisa cari uang. Mentang-mentang Papa sudah pensiunan dan tidak bisa kerja.”
“Sekali lagi aku bilang, aku tidak mempermasalahkan mau Papa kerja lagi atau tidak. Walaupun, secara fisik masih mampu. Aku sebagai anak yang harusnya menggantikan orang tua buat memenuhi kebutuhan keluarga.”
“Halah! Jangan sok jadi pahlawan keluarga.”
Mama tampak meremas pergelangan tangan Papa.
“Kalau begitu, begini saja. Silakan Papa hutang, silakan foya-foya dan sok kaya. Tapi, bayar sendiri. Aku cuma mau memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan membayar hutang yang cuma dibuat foya-foya, apalagi selingkuh.”
“Jangan main tuduh begitu. Papa tidak pernah selingkuh!” hardik Papa.
Aku mengangguk seraya melempar senyuman kecut. “Iya, selingkuhnya sudah pensiun. Tapi, hutang-hutang yang masih tersisa sekarang karena dipakai buat menutup hutang yang dulu-dulu itu. Semua hutang itu buat selingkuh. Aku masih mau tetap bayar, karena aku mau kondisi keluarga ini berubah. Tujuan akan cepat tercapai kalau masing-masing anggota bisa saling membantu. Ibarat kita sedang di dalam perahu. Kami berusaha menambal kebocoran, tapi Papa malah membuat lubang dengan kapak. Mau sampai kapan kita seperti ini terus?”
Mata Papa membeliak. “Kamu sudah berani menggurui orang tua?”
Aku menggeleng dan berusaha untuk tetap stabil. Selain hampir tidak pernah memotong ucapan orang tua, aku juga tidak pernah mengungkapkan apa yang ingin kukatakan seperti malam ini. “Aku tidak menggurui. Cuma berusaha menyampaikan pendapat. Kalau Papa tidak mau kerja sama, ya sudah. Urus saja sendiri keperluan Papa.”
Kalimat itu sebenarnya hanya sebuah hardikan. Aku tidak mungkin serta merta membiarkan kebocoran ini semakin berlarut.