Binar dan Jawaban-Jawaban yang Ia Temukan

Agita Anggita
Chapter #2

Bertemu Dia

Kalau bapak masih hidup, hari ini seharusnya jadi hari ulang tahun bapak. Binar lupa usia berapa bapak seharusnya. Sebab, ia tidak ingat bapaknya kelahiran tahun berapa.—seingatnya, bapak mengarang tahun lahirnya, hal yang lumrah di zamannya. Kayu nisan bapak sudah lapuk dari kapan tahu, dan anggota di kartu keluarga Binar tersisa dirinya saja. Lagi pula, semasa hidup pun ulang tahun bukan kebutuhan primer bagi keduanya, juga bukan sekunder, bahkan terlalu maksa kalau harus dibilang kebutuhan tersier. Merayakan ulang tahun bagi Binar dan bapak adalah sebuah keistimewaan yang tidak bisa dilakukan setiap tahun. Apalagi mengingat pekerjaan bapak yang gonta-ganti, dan waktu kerja bapak yang tidak menentu. Ditambah kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Seumur hidup Binar, baru satu kali ia merayakan ulang tahun dan itu bukan ulang tahun bapak. Ulang tahun dirinya.

“Ayo makan nasi Padang, nak!” Ajak bapak.

Ketika itu Binar berusia dua belas. Sebagai hadiah ulang tahun, oleh bapak, ia diajak makan bersama di salah satu rumah makan. Sebenarnya Binar ingin minta dibelikan sepatu baru, tapi kata bapak, “lain kali.” Jadi Binar iya-iya saja, sambil berharap suatu saat dirinya benar-benar akan memiliki sepatu baru. Maklum, sepatunya sudah buluk, juga sudah sedikit sempit. Kadang-kadang jempol kakinya memerah karena tertekan sepatunya yang sudah tak lagi longgar. Untuk mengakalinya, Binar tidak betul-betul mengenakan sepatunya, pantat sepatu ia injak agar kakinya terasa lebih bebas dan muat di dalam sepatunya. Meski kadang-kadang kena omel guru, ia tetap memakainya seperti itu. Mau bagaimana lagi? Hari ini ulang tahun Binar, dan kata bapak lain kali Binar akan dibelikan sepatu. Binar menantikan hari itu terjadi. Semoga saja dalam waktu dekat!

Rumah makan Padang yang sederhana di dekat rumah. Di sanalah mereka merayakan ulang tahun Binar. Jaraknya kurang dari dua ratus meter. Berlokasi di depan gang—di pinggir jalan. Waktu itu mereka berdua pergi berjalan kaki ke sana dan terlihat rumah makan Padang yang dimaksud sedang sedikit ramai. Beberapa motor nampak berjejer di depannya. Di dalam, ada segerombolan bapak-bapak yang duduk nongkrong sambil mengisap rokok. Bapak mengajak Binar duduk di pojok, agak jauh dari asap rokok.

Karena jarang sekali makan daging, di hari ulang tahunnya Binar pesan daging rendang, sedangkan bapak ambil gulai ayam. Binar masih merekam jelas suara kipas angin yang bautnya sudah agak longgar, berputar cukup lambat di atas kepala mereka. Ada beberapa kantong plastik yang diisi air—diikat pada seutas tali dan digantung di atas semua masakan untuk mengelabui lalat yang kadang-kadang bertandang ke sana.

Sebuah televisi menyala agak nyaring, visualnya kadang buram, kadang jelas. Sesekali pemilik rumah makan yang sedang berjaga di loket kasir ikut menonton televisi bersama pelanggan. Sambil tangannya mengikatkan karet gelang pada segepok uang yang sudah selesai dihitungnya. Lalu, kalau ada pembeli yang baru datang, dia akan bergegas melayani tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Tidak peduli kuman-kuman dari uang yang baru saja ia pegang menempel pada piring yang dia sentuh.

Bau asap rokok dan knalpot dari motor dan mobil yang berlalu-lalang di luar sedikittercium—campur dengan harum rempah daging rendang dan sayur nangka di atas piringnya. Binar yang masih belia senang sekali. Karena tidak jadi makan telur kecap di hari itu, diganti sebuntal daging rendang yang ukurannya tidak besar-besar amat. Ia masih ingat rumah makan Padang itu tidak begitu besar. Tempatnya tidak bisa dibilang bersih meskipun sebenarnya tidak kotor juga. Ya… kelasnya rumah makan pinggir jalan lah. Tapi ia gembira sekali, belum tentu sebulan sekali mereka bisa makan di sana.

Bapak makan dengan berdecap. Binar yang masih kecil tidak suka itu. Terlalu berisik. Tapi ia tidak menegur bapak karena takut dimarahi balik olehnya. Jadi Binar hanya menutup mulut ketika decap mulut bapak kian keras. Binar kecil mulai memainkan imajinasinya, berandai-andai, memikirkan decap kunyahan bapak menjelma bagai musik pengiring makan siangnya yang ia benci tapi terpaksa ia dengar melulu.

Keduanya cuma hening tidak banyak bicara. Bapak makan sambil baca koran yang ditaruh di samping piringnya. Mencari lowongan pekerjaan baru karena pekerjaannya saat itu sebagai loper koran sudah tidak menjanjikan. Pun dia sudah lama tidak dipanggil untuk mengerjakan proyek bangunan. Binar senyum-senyum sendiri di depan setumpuk nasi dan daging rendang. Mulutnya berliur terus tanda menikmati hidangan di depannya. Kadang-kadang Binar melirik ke arah televisi yang dipasang menempel di atas tembok. Menyiarkan berita. Binar masih ingat berita yang ditayangkan berisi pemerkosaan. Binar tidak paham, ia masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang ia tahu, kata bapak-bapak yang ngobrol di dekatnya, mungkin karena korbannya masih berkeliaran malam-malam. Binar yang belia iya saja dalam hati.

“Ya lagian ngapain perempuan malam-malam masih di luar.” Kata salah seorang dari gerombolan itu.

“Bajunya ngundang kali.” Timpal yang lain.

“Yah! gimana, ikan asin ditaro di pinggir jalan!”

Bapak dan Binar diam saja. Bapak terlalu fokus dengan koran yang dibacanya. Sementara Binar kecil, belum mengerti. Barulah setelah dirinya lebih dewasa, Binar menyadari seharusnya waktu itu sekumpulan bapak-bapak tadi ia toyor kepalanya.

Karena satu kenangan itulah, setelah bapak meninggal, Binar berjanji akan merayakan ulang tahun bapak dengan bebungaan khas pemakaman, serta sederet doa-doa yang dirapal sambil memejamkan mata. Sebagai balas budi telah pernah merayakan hari lahirnya walau hanya sekali. Meskipun dirinya memiliki hubungan bapak-anak yang tidak cukup romantis, setidaknya Binar merasa berterima kasih karena bapak sudah mau mengasuhnya. Sendirian. Walau harus dibumbui hutang di sana-sini, setidaknya, Binar bisa bertahan hidup karena bapak. Binar menaburkan sekeresek bunga yang dibawanya.

Selamat ulang tahun, bapak!

*

Ada wangi pandan bercampur kenanga, kantil, mawar, dan melati yang menempel di bajunya entah bagaimana. Mungkin karena ia terlalu lama berada di makam bapak. Aroma bebungaan itu seolah tidak mau lepas dari Binar, bergelayut di tubuhnya lama-lama. Harumnya menguar dalam radius setengah meter. Kakinya melangkah ke arah toilet kampus, ia mencuci tangan di sana. Menghilangkan sisa-sisa wangi bebungaan dan lengket getah bunga yang menempel di telapak tangannya. Ia kemudian menatap wajahnya di pantulan cermin. Sebuah jerawat bertengger di pipi kirinya. Tapi bukan itu yang membuatnya jadi lebih lama melihat lekuk mukanya—ia terlihat sedikit lelah. Kantung matanya cukup gelap dibanding sebelumnya. Kurang tidur. Pekerjaannya terlalu banyak akhir-akhir ini. Ditambah sudah mendekati ujian tengah semester, ia semakin getol belajar, guna mempertahankan nilainya yang sudah cukup baik. Ia harus begitu kalau mau terus berkuliah secara cuma-cuma.

Gadis mungil itu keluar dari toilet, berjalan menuju lorong kampus, tempat di mana ruang kelas berjejer. Namun sayangnya tidak ada ruang yang kosong, semua dipakai oleh kelas-kelas yang tengah berlangsung. Binar sedikit kecewa, dihembuskannya napas panjang sekali. Lalu kakinya putar balik, ke arah halaman kampus. Angin berhembus, berpapasan dengan daun yang bergelayut rapuh dan membuatnya jatuh perlahan. Tidak banyak mahasiswa beraktivitas hari ini. Atau mungkin kebanyakan masih berada dalam kelas-kelas. Berkutat dengan materi perkuliahan. Sedang Binar duduk di salah satu bangku di halaman kampus. Menikmati lengangnya sekitar. Namun tidak lama, sunyinya terusik.

Lihat selengkapnya