Binar dan Jawaban-Jawaban yang Ia Temukan

Agita Anggita
Chapter #3

Perkenalan

Ruang kelas terisi ramai. Kursi-kursi berjejer memenuhi ruangan. Meski begitu, kelas berlangsung hening. Ada yang bertopang dagu, duduk bersandar, namun seperti apapun gaya duduknya, semua mata tertuju pada Aksara. Fokus, menyisakan hening dan suara lelaki itu. Kecuali Binar.

Binar kecewa karena ketidakhadiran Prof. Sasongko hari ini. Di lima menit pertama, ia agak cemberut, langsung saja mencomot gawai dari dalam tas, membuka Instagram, menyelaminya sampai ke kolom komentar hanya untuk memenggal bosan. Sambil scrolling, ia menyusun rencana keluar kelas lalu pergi ke perpustakaan atau kantin kampus—ia bisa saja makan siang sekarang meski masih terlalu awal. Setidaknya lebih menggiurkan makan ayam geprek level tiga di kantin kampus daripada duduk diam di kelas tanpa sosok Prof. Sasongko yang ia kagumi. Lima menit pertama, Binar dengan bosan mendengarkan perkenalan lelaki-entah-siapa-yang-mengaku-menjadi-asisten-Prof. Sasongko itu. Ia mengetuk-ngetuk pulpennya ke atas meja, membolak-balik catatan mata kuliah lain. Bosan. Karena lelaki itu masih menjelaskan alasan kenapa Prof. Sasongko tidak dapat hadir hari ini. Ia ingin cepat keluar dari sana! Mungkin ke kamar mandi bisa jadi alasan untuknya kabur…

“Pelajaran apa yang bisa kalian tarik dari peristiwa COVID-19?” Tanya Aksara pada seluruh kelas.

Niat Binar urung. Di luar ekspektasinya, ternyata Aksara yang mengenalkan diri sebagai asisten Prof. Sasongko itu sangat kompeten. Ya sebenarnya salahnya juga sih… underestimate duluan. Kalau tidak cerdas, tak mungkin Prof. Sasongko memilihnya jadi asisten. Lelaki itu mulai menjelaskan hal-hal dasar soal Manusia dan Kebudayaan. Cara menjelaskan materi membuat perempuan itu sedikit terkejut. Sangat berbeda dengan Prof. Sasongko. Sosoknya membuat Binar melihatnya sebagai pengajar yang berkarisma. Kata-kata yang dipilihnya bijak—tidak pakai istilah-istilah yang membuat kepala berpikir dua kali. Tempo bicaranya pas sekali, tidak terlalu cepat, tapi tidak lambat. Binar lumayan lega tetap bertahan duduk di kursinya. Lalu dengan semangat yang mulai tumbuh, perempuan itu mulai mencatat hal-hal penting yang dirasa ia butuhkan untuk kepentingan akademiknya.

Lama-lama, Binar jadi kagum dengan Aksara. Atau lebih tepat kalau Binar panggil Mas Aksara, mengingat ia adalah mahasiswa aktif S2—yang sudah tentu lebih tua usianya dari Binar. Aksara pintar sekali dalam menganalisis peristiwa, juga pemaparan materi. Dia memberi contoh-contoh terkini, paling up-to-date yang relate dengan generasi Binar. Kelas Manusia dan Kebudayaan jadi berlangsung seru.

“Kondisi COVID-19 nggak hanya berimbas pada aspek biologis, lebih jauh ia merambah pada segala hal termasuk sosiologis. Kita dipaksa untuk melakukan pembatasan interaksi sosial—di mana sejatinya kita adalah makhluk yang butuh bersosialisasi. Tapi ada alasan kenapa manusia disebut makhluk adaptif! Lama-lama, kita menemukan solusi-solusi untuk menjebol kebijakan jaga jarak yang diberlakukan pemerintah. Memaksimalkan teknologi yang sudah ada, contohnya. Nah, kira-kira apalagi dampak signifikan yang kalian temui di era pandemi kemarin?” Tanya Aksaramantap.

Diskusi berjalan terbuka dan menyenangkan. Bahkan sempat terjadi perdebatan alot yang asyik dibicarakan dalam kelas. Riuh tepuk tangan dan sorak sesekali memenuhi ruang kelas. Kadang-kadang, Aksara juga melemparkan candaan-candaan yang sesuai dengan konteks materi yang ia jelaskan. Kerennya lagi, semua candaan itu benar-benar lucu dan membuat hampir semua orang tertawa—minimal tersenyum. Tak disangka, caranya mengajarnya yang berbeda dengan Prof. Sasongko tetap sama menyenangkan bagi Binar. Mungkin karena pikirannya agak lain dari Prof. Sasongko. Aksara lebih… liar, ekspresif, imajinatif… unik!

“Baik, hari ini cukup sekian. Untuk selanjutnya Prof. Sasongko titip tugas; membuat review satu jurnal yang nanti akan saya bagikan melalui koordinator mata kuliah.” Tutup Aksara.

Binar merasa terpanggil. Ia langsung duduk tegak, mengangkat kepalanya yang tadinya masih sibuk menunduk, mencatat materi yang disampaikan lelaki itu. Tangannya berhenti menulis. Matanya mencari mata Aksara.

“Siapa di sini koordinatornya?” Tanya Aksara memindai seluruh kelas.

Binar mengangkat tangan. Teman-teman sekelasnya meliriknya. “Saya, Mas!”

“Oke, habis kelas ketemu saya sebentar ya.”

*

Sudah mulai sore. Cahaya matahari jatuh tepat di atas helai-helai kuncir rambut Binar. Membuatnya berkilau meski kelihatan kalau rambut-rambut itu hanya dirawat seadanya—mengembang dan cukup kering. Matanya yang kecil menyipit kala cemerlang matahari berpindah mengenai wajahnya. Binar menggeser duduknya, menghindari terang matahari yang bikin silau matanya. Perempuan itu kemudian merenggangkan tubuh sejenak. Sendi-sendinya berbunyi kretek!! Terlalu pegal karena banyak duduk di depan laptop. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Berusaha memberi rehat pada kedua matanya yang sejak tadi dipaksa menatap layar. Baiklah, jeda sebentar. Pikirnya.

Binar menyeruput es jeruk yang ia letakkan di sebelah laptopnya. Matanya memicing karena rasa asam. Padahal esnya sudah mencair tapi si asam masih saja tertinggal di lidahnya. Bagaimanapun, ia tetap suka es jeruk. Meski rasa asam mengganggu pengecapnya tapi kesegaran yang diberikan cukup untuk membuatnya ketagihan. Ditatap gawainya. Tak ada pesan atau notifikasi penting. Ia memandang ke sekitar lagi. Di ujung sana, di ujung lorong gedung kampus, di sanalah ia melihat Aksara tengah bicara pada… entahlah, mungkin seorang kawan? Kedua lelaki itu tak melihat Binar, mereka asyik ngobrol sambil berjalan menuju arah parkiran motor. Mungkin hendak pergi dari kampus. Tangan keduanya tidak berhenti bergerak, seolah sedang memvisualisasikan sesuatu. Binar kembali ke laptop. Menulis lagi dengan tekun. Sejujurnya, Binar tidak ingin terlalu serius menjadi pekerja lepas seperti sekarang ini.

Perempuan itu suka menulis. Suka sekali. Namun, ia ingin menjadikan pekerjaannya sebagai jurnalis online sekadar hobi yang bisa ia lakukan kala senggang, tanpa tekanan, dan tak dibatasi tema-tema tertentu untuk menarik pembaca banyak-banyak. Dalam benaknya, sepertinya menyenangkan sekali kalau ia bisa menulis dengan teliti—berbagai hal yang ia sukai. Lalu mengunggahnya di platform apa saja yang ia kehendaki. Mungkin di media sosialnya, atau dikirim ke portal berita online, majalah, atau yang lainnya. Setelah itu ia akan menghabiskan sebagian waktunya dengan sibuk berorganisasi dan nongkrong di kafe-kafe sekitaran kostnya, atau sekadar janjian bikin tugas bersama teman tanpa khawatir sudah berapa waktu yang ia habiskan. Seperti teman-temannya yang lain.

Lihat selengkapnya