Sejak saat itu, entah bagaimana Binar jadi sering berpapasan dengan Aksara. Kadang mereka bersimpangan jalan di lobi kampus, sesekali tak sengaja bertemu di lahan parkir. Pernah juga suatu kali Binar menangkap mata Aksara sedang nongkrong di warung kopi dekat kostnya bersama segerombolan lelaki—sepertinya temannya. Dan setiap kali mereka berpapasan, maka selalu yang terjadi adalah…
“Binar!” Seru Aksara.
Ia mengangguk. “Mas…”
“Duluan ya!” Lelaki itu melewati Binar.
Lalu, sudah. Mereka pergi ke arah yang berlawanan. Menuju tujuan masing-masing. Setiap kali Binar bertemu Aksara, kepalanya tidak pernah lepas dari bayangan bagaimana lelaki itu mengajar di kelas pada mata kuliah Manusia dan Kebudayaan kapan lalu. Terrnyata, berkat kepiawaiannya membawa suasana kelas, bukan hanya dirinya yang menyenanginya. Banyak dari teman-teman yang mengagumi Aksara.
“Sumpah ya penjelasannya ringan banget!”
“Bener-bener! Jadi kerasa gampang materinya hahaha.”
“Mana lumayan lagi looknya...”
Bukan cuma keahlian mencairkan suasana di kelas saja, fisik seorang Aksara tak luput dari perhatian mereka. Lelaki itu sebenarnya tidak terlalu tampan. Cenderung biasa saja. Tapi kecerdasannya, senyum lebarnya, kacamata yang dipakainya, gaya berpakaian yang trendi, caranya berjalan, dan… banyak, banyak lagi—hal yang membuat lelaki itu terlihat menarik. Setidaknya bagi Binar. Dan sebagian besar teman-teman perempuannya.
Aksara juga akrab dengan banyak mahasiswa laki-laki di kelasnya. Tak jarang ia lihat asisten Prof. Sasongko itu nongkrong di kantin bersama beberapa teman yang ia kenal. Yah bagaimanapun juga lelaki itu memang supel. Apalagi, tutur katanya sangat baik. Meski ia suka bercanda di kelas dan terlihat seenaknya, namun saat memanggil atau meminta bantuan mahasiswa, dia tak lupa untuk selalu memakai tiga matra ajaibnya; ‘maaf’, ‘tolong’, dan ‘terima kasih’. Intonasinya pun begitu lembut, sehingga para mahasiswa sungkan menolak. Binar juga pernah beberapa kali membantu Aksara membawakan seabrek tumpukan kertas; hasil tugasnya dan teman-teman sekelasnya ke kantor Prof. Sasongko. Saat itu Aksara bilang,
“Binar, saya minta tolong tugas-tugasnya dibawa ke ruangan Prof Sasongko ya. Nanti bareng sama saya, kebetulan kunci ruangannya saya yang bawa.” Ucapnya.
Tentu saja Binar tidak bisa menolak. Ia dan Aksara kemudian keluar dari ruang kelas, berjalan sejajar. Nampak sekali perbedaan tinggi badan keduanya. Binar terlihat mungil di samping Aksara yang menjulang melebihi kepalanya. Tinggi badan Binar berhenti di bahu Aksara, sedangkan lelaki itu nampak tegap saat berjalan membawa tas besar di tangan kiri dan laptop yang terbuka di tangan kanan.
Tadinya Binar pikir Aksara hanya akan muncul di kelasnya satu kali saja saatmenggantikan Prof. Sasongko tempo hari. Namun dugaannya keliru. Ternyata sejak pertemuan kapan lalu, Aksara selalu ikut masuk kelas. Ia akan duduk di pojok kiri depan, di bangku mahasiswa, sementara Prof. Sasongko akan duduk di mejanya yang berada di pojok kanan depan. Lelaki itu selalu membuka laptopnya tiap kali masuk kelas. Jemarinya bergulat dengan keyboard laptop, entah mengetik apa. Mungkin materi yang disampaikan Prof, Sasongko. Mungkin juga mencatat hal lain. Sesekali, Aksara akan diminta Prof. Sasongko untuk menambahi materi yang sudah disampaikan beliau, atau bertanya bagaimana pendapat mahasiswa S2 yang jadi asistennya itu atas apa yang baru saja beliau paparkan di depan kelas.
“Saya setuju Prof. Seperti halnya tradisi Beganjal dari Lingga, Kepulauan Riau, yang menyatukan masyarakat dalam upacara atau pesta pernikahan, misalnya. Kita bisa melihat bahwa masih ada nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Bahwa tradisi masih akan menjadi budaya selama itu adalah sebuah kebutuhan.” Terang Aksara.
Sementara itu, sejak nomor Aksara tersimpan di gawai Binar, mereka rutin berkirim pesan seminggu sekali. Setelah kelas usai, Binar akan mengirim satu pesan panjang pada Aksara. Perempuan itu diamanahi mencatat siapa saja yang berhasil menjawab pertanyaan dari Prof. Sasongko, setiap kali beliau melempar kuis dadakan ke tengah barisan mahasiswanya. Lambat laun, denting notifikasi pesan masuk dari Aksara sudah tidak asing lagi untuk Binar. Walaupun pesan dari Aksara hanya selalu,
Mas Aksara Asist. Prof. Sasongko
Baik, terima kasih, Binar.
*
Matahari sedang pamer kekuatan. Sinarnya yang terik dan suhunya yang panas menjadikan siang ini terasa gerah. Kamar kost Binar yang tidak luas jadi pengap. Meskipun kipas angin sudah ia nyalakan sampai kekuatan maksimal, nyatanya gerah belum terhindarkan, membuatnya haus karena berkeringat sepanjang siang. Bulir-bulir keringat itu jatuh dengan cepat saking panasnya cuaca. Segelas es jeruk sepertinya cocok untuk menyegarkannya dari dalam. Apalagi kalau es jeruknya punya rasa yang manis dari gula ditambah sedikit kecut jeruk. Es jeruk memang selalu jadi andalan Binar. Meski begitu, hanya beberapa tempat makan saja yang bisa memuaskan standar rasa es jeruknya, dan ia menaruh apresiasi besar bagi setiap tempat makan yang punya menu es jeruk dengan rasa nikmat dengan harga miring. Baginya peracik es jeruk yang baik patut diberi doa baik juga. Semoga rejeki selalu bertambah dan warung makan ini kian berkembang. Suatu kali Binar mendoakan warung makan Tegal kesukaannya dengan sajian es jeruk sangat enak.
Binar sedang mengerjakan tugas kuliahnya ketika rasa haus itu melanda, Manusia dan Kebudayaan untuk besok lusa. Sambil duduk menghadap meja belajarnya, Binar bolak-balik membuka banyak laman di laptopnya. Studi literatur. Binar paling suka bagian ini. Dengan membaca banyak referensi, bukan cuma tugasnya yang dapattuntas, tapi wawasannya juga bertambah luas. Apalagi kalau beruntung, ada saja penulis yang mencatat pengalamannya seperti sebuah novel yang menarik dan bikin penasaran untuk terus dibaca. Di tengah tugas yang sedang digarap itulah, Binar merasa segelas es jeruk perlu ada di mejanya. Sepertinya akan memompa semangat kalau ia mengerjakan tugas bersama segelas es jeruk yang manis kecut. Ah! Atau sekalian saja dia mengerjakan tugas di warung Tegal kesukaan—yang menyediakan es jeruk persis seperti di bayangannya. Makan siang juga. Barangkali kecepatan menuntaskan tugasnya bisa jadi lebih cepat karena terdorong pergerakan manusia yang ia akan lihat nanti. Ah, ya! Begitu saja!