Binar dan Jawaban-Jawaban yang Ia Temukan

Agita Anggita
Chapter #5

Kenapa Selalu Ada Kamu

Angin menjalari tubuh Binar yang tengah berdiri di antara barisan mahasiswa. Rambutnya dibiarkan tergerai, berkibar terbawa arus angin. Rok merah anggurnya ikut melambai, untungnya rok itu cukup panjang, jadi kakinya tetap tertutup walau digoyang angin. Binar baru saja selesai mencetak tugasnya. Sebuah review buku yang dimandatkan dosen mata kuliah Etnografi Indonesia. Tugas itu sudah rampung sejak kemarin, tapi Binar baru sempat mencetaknya pagi ini di tempat fotokopi dekat kampus. Tiga komputer yang berjejer diperuntukkan membuka dokumen tampak sibuk melayani para mahasiswa yang saling menunggu giliran pakai. Beruntung Binar datang lumayan pagi, jadi ia dapat kesempatan di awal antrean untuk mencetak tugasnya.

Perempuan itu dengan sabar berdiri, menanti giliran bayar hasil cetaknya. Beberapa kali ia membenahi letak tas yang tersampir di bahu agar lebih nyaman. Lalu merogoh isinya mengambil sesuatu dari dalam sana. Gawai. Sambil menunggu, ia membuka gawai itu. Mencari tahu ramalan cuaca hari ini. Katanya sih akan cerah sepanjang hari. Sepertinya betul juga, sebab panas dan terik mulai menyeruak, padahal masih pagi. Binar menatap ke depan. Sisa tiga antrean. Lalu tiba-tiba saja, lelaki itu muncul tepat di samping Binar. Siapa lagi kalau bukan Aksara. Binar—yang berdiri di sebelah salah satu komputer, terkejut melihatnya langsung menduduki bangku—menghadap komputer di sebelah Binar. Lagi-lagi mereka bertemu. Meski pertemuan mereka hanya sebatas saling sapa, tapi lama-lama Binar merasa terbiasa dengan kehadirannya yang serba mendadak. Pertemuan tak sengaja mereka memang tidak lantas membuat Binar menjadi orang yang super ramah padanya. Justru, bertemu di manapun dengan Aksara, ia takkan menyapanya lebih dulu sebelum…

“Binar!” Seru Aksara setengah teriak.

Binar mengangguk sopan. “Eh, iya mas…”

Begitulah.

Selesai membayar tagihannya, Binar melesat pergi tanpa melihat Aksara lagi. Sedangkan lelaki itu juga sepertinya tidak menyadari kepergian Binar. Mereka berpisah usai sapaan yang tidak bisa dibilang hangat itu. Kelas dimulai lima menit lagi, dosen pengampu mata kuliah Etnografi Indonesia sudah masuk kelas dan hampir seluruh mahasiswa yang mengambil kelas ini sudah siap dengan buku catatan di atas meja masing-masing. Tugas mereka belum dikumpulkan, biasanya baru akan ditagih Sang Dosen ketika kelas berakhir. Binar duduk agak ke belakang. Karena tadi ia mencetak tugasnya terlebih dahulu, ia jadi tidak kedapatan bangku favoritnya. Keburu ditempati mahasiswa lain.

Sialnya, baru saja kelas berjalan sebentar, AC ruangan tiba-tiba saja mati. Lebih parah, tidak ada ruang kosong lain yang bisa jadi pengganti. Jadi mereka semua harus tetap berada di ruang kelas itu sampai AC kembali menyala. Remot ACnya dibawa salah satu pegawai Unit Pelayanan Akademik yang belum juga datang sejak dihubungi ketua mata kuliah lima belas menit yang lalu. Memang belum segerahketika siang hari, tapi tetap saja beramai-ramai di dalam kelas yang tidak terlalu besar membuat udara menjadi lebih sumpek.

Beberapa mahasiswa mengibas-kibaskan lembar tugas mereka. Ada juga yang pakai buku. Mencoba menyingkirkan pengapnya ruangan dan gerah dari kening, dada, sampai ketiak mereka. Barulah dua puluh menit berlalu, suara ketukan pintu membuat kepala-kepala para penghuni ruangan itu menoleh ke asal suara. Semoga saja pembawa remot AC!

“Pagi, Pak. Ini saya diamanahi remot AC oleh Pak Didit. Beliau buru-buru ada kepentingan lain yang mendesak.” Ujarnya.

“Oh ya silakan, Mas.” Balas Bu Kris, Sang Dosen.

Aksara.

Mata Aksara tidak sengaja bertemu dengan mata Binar. Lalu keduanya saling melempar senyum tipis. Aksara tidak lama di sana, ia hanya menyalakan ulang AC yang mati lalu pergi pamit entah ke mana. Sedang Binar masih terkejut akan pertemuan tiba-tiba yang tidak diduganya. Bahkan untuk sekadar urusan AC kelas pun ia harus bertemu oleh Aksara! Sungguh kebetulan yang aneh. Kelas kembali berjalan dengan sejuk.

*

Waktu gajian adalah yang ditunggu-tunggu Binar. Selepas kelas, Binar langsung melenggang ke ATM dekat kampus untuk melihat jumlah saldonya. Jumlah uang gaji Binar tidak selalu sama tiap bulan, dan hal itulah yang membuat hari gajian menarik untuknya. Binar tidak pernah menghitung berapa artikel berita yang ia tulis dimuat, pokoknya kerjaan perempuan itu cuma menulis berita dan mengirimnya ke bagian editor. Jadi, tiap tengah bulan, ia akan selalu dapat kejutan kecil atas jumlah uang yang ia punya di ATM. Deru mesin ATM yang memproses uangnya lah kesukaannya. Apalagi segepok tipis uang yang baru dikeluarkan itu. Favorit. Biasanya, Binar akan membuat pos-pos untuk uangnya. Sekian untuk belanja bulanan… untuk bayar ini… itu… dan lain-lain. Binar melipat setumpukan tipis uangnya, lalu dimasukkan ke dalam salah satu slot tas bahu yang ia gendong.

Perempuan itu keluar dari ruang berisi jejeran mesin ATM—lokasinya tidak jauh dari Fakultas Ilmu Budaya—tempatnya berkuliah. Selanjutnya, Binar berjalan kaki hendak pulang menuju kost. Binar selalu berjalan kaki ke kampus. Ia punya motor tapi jarak kost dengan kampusnya cuma lima menit saja. Terlalu sayang kalau pakai motor padahal jalan pun ia mampu. Lagipula, jadi irit bensin. Perempuan itu cuma pakai motor kalau harus berkegiatan malam atau pergi jauh-jauh untuk ambil data tugas dan sesekali refreshing. Binar tidak punya keinginan untuk menjual motornya walau jarang dipakai, sebab motor yang tidak trendi itu adalah salah satu peninggalan bapak yang ia ingin jaga. Meski kadang merepotkan—harus ganti oli, isi bensin, servis berkala. Tapi ia senang setidaknya ada kepunyaan bapak yang bisa ia simpan dalam waktu yang lama.Seperti biasa, karena sudah masuk musim kemarau, siang itu terik dan udara yang dihembuskan agak hangat. Mungkin matahari sedang semangat menyinari tata surya. Padahal Binar sudah cukup gerah sebelum kemarau. Sekarang, gerah sudah tidak bisa lagi mendefinisikan kucuran keringatnya yang terus jatuh menjalari pelipisnya. Binar membuka payung sebelum beranjak, menutupi kepalanya dari sengatan matahari agar tidak pusing. Perempuan itu berjalan pulang. Kelasnya yang terakhir masih sore nanti. Ada jeda empat jam dari kelas yang baru saja berakhir. Jadi, Binar memilih untuk pulang ke kost dan mengerjakan tugas artikel di kostnya.

Di perjalanan, beberapa motor melintasi Binar. Kecepatannya berbeda-beda. Sesekali motor melaju super lambat, lambat, agak cepat, cepat, dan terkesan buru-buru. Mungkin kepanasan. Sedang Binar berjalan santai seolah dengan congkak memamerkan kekuatan payungnya yang dengan gagah melindungi tubuhnya dari sengit panas cahaya matahari. Mendadak, sebuah motor berhenti tepat di depan Binar. Seorang lelaki dengan helm bogo berkacamata hitam. Lelaki itu membuka kacamata hitamnya. Tapi sebelum matanya benar-benar terlihat, Binar sudah tahu siapa pemiliknya, Aksara. Lagi-lagi Aksara. Mungkin benar, mereka harus diberi piring cantik oleh Tuhan. Terlalu banyak pertemuan dan kebetulan untuk dua pasang manusia yang sebenarnya tidak akrab-akrab amat itu.

“Payung hitam!” Seru Aksara menjawil payung Binar.

“Eh?”

Lihat selengkapnya