Binar dan Jawaban-Jawaban yang Ia Temukan

Agita Anggita
Chapter #6

Hal yang Mendekatkan Kita

Binar melangkah masuk melewati gerbang kampus. Rambutnya yang dikuncir kuda bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri mengikuti langkahnya yang besar-besar. Hari ini, kelas Manusia dan Kebudayaan akan diselenggarakan. Meski ia merasa bersemangat akan diajar oleh Prof. Sasongko, ia juga merasa gelisah karena asisten beliau, Aksara.

Sudah hampir seminggu berlalu sejak Binar menolak ajakan makan soto dari Aksara, dan Binar tidak mendapatkan balasan pesan darinya. Anehnya, selama seminggu ini pula ia tak melihat batang hidung Aksara. Sejak tiga hari yang lalu, Binar mulai khawatir karenanya. Apakah lelaki itu marah? Kesal padanya? Tapi bukankah kata-kata yang dipakainya sudah cukup sopan? Aksara selalu membalas pesannya. Selalu.

Um… memang biasanya hanya membicarakan tentang perkuliahan. Tapi tetap saja, dia selalu memberikan jawaban untuk setiap pesan yang Binar kirim. Perempuan itu jadi merasa tidak enak. Apalagi hari ini mereka akan bertemu di kelas. Binar takut akan terjadi kecanggungan di antara keduanya.

Dengan langkah gamam, Binar memasuki kelas yang akan dimulai sepuluh menit lagi. Tidak seperti kebiasaannya, ia duduk di kursi paling kanan. Di depan. Iaberharap bisa sedikit lebih dekat dengan Aksara nanti, dan menanyakan mengapa ia tak membalas pesannya tempo hari. Perempuan itu heran sendiri kenapa dirinya jadi sepemikir ini? Padahal bisa saja memang Aksara malas menjawab chat-nya. Mungkin lelaki itu menganggap pesannya tidak terlalu penting untuk dijawab. Lagi pula, ia sendiri yang memutuskan menolak ajakan makan dari Aksara, lalu kenapa sekarang ia seolah-olah tampak menyesal?

Tunggu dulu. Menyesal?

Tidak lama setelah pikiran itu muncul, teman-teman sekelas Binar berdatangan. Sesekali bergerombol, sesekali pula datang seorang diri. Memenuhi ruang kelas yang tadinya sepi. Ia menyiapkan bukunya, mengeluarkan pulpennya, dan ditaruh ke atas meja. Kuliah akan dimulai lima menit lagi. Prof. Sasongko akan datang sebentar lagi. Aksara juga.

“Tahu nggak kabar terbaru?”

“Apa?”

“Mas Aksara kecelakaan.”

Binar mematung mendengar ucapan Hana, teman sekelasnya kepada entah siapa di belakang. Matanya melirik ke arah suara berasal, tapi kepalanya kaku. Telinganya dibuka lebar-lebar, menangkap sebisanya apa yang mereka bicarakan.

“Hah? Demi apa? Tabrakan apa gimana?”

“Kata kelas sebelah kecelakaan tunggal. Kepeleset gitu motornya? Gatau juga aku.” Ucap Hana.

Olive menanggapi. “Duh, kapan itu?”

“Gak tahu pastinya tapi minggu yang lalu deh. Katanya sempet dirawat di rumah sakit. Tapi kayaknya udah pulang, soalnya Prof. Sasongko sempet nyinggung di kelas sebelah. Denger dari Val gue, kemarin.” Jelas Hana.

Hati Binar mencelos. Jadi itu alasan mengapa hampir seminggu ini Aksara tidak membalas pesannya. Lelaki itu kecelakaan. Entah ini simpati atau empati, namun yang jelas Binar merasa sedih dan kasihan dengan Aksara. Dahinya mengerut dan bibirnya dikulum khawatir dengan kondisinya. Diam-diam, di tengah pembicaraan yang ia curi dengar, Binar mengirimkan pesan kepada Aksara. Ikat rambutnya ia lepas, membiarkan rambutnya tergerai sebagai tirai dari gawainya.

Binar

Mas, saya dengar Mas kecelakaan? Are you okay?

Tak lama, gawainya bergetar menandakan pesan masuk. Sedetik Binar berdebar.

Mas Aksara Asist. Prof. Sasongko

Binar, maaf aku nggak balas pesanmu seminggu lalu. Iya. Tapi sekarang udah di kost kok. Aku baik-baik aja, tinggal penyembuhan.

Hati Binar tiba-tiba saja menjadi hangat melihat kata ‘saya’ yang biasa digunakan Aksara berubah menjadi ‘aku’. Namun, tidak ada waktu untuk Binar berlama-lama memikirkan hal itu. Cepat-cepat ia hendak membalasnya. Tapi sebelum itu terjadi, Aksara sudah mengiriminya pesan lagi.

Mas Aksara Asist. Prof. Sasongko

Mampir ke sini aja, Binar.

O oh! Binar menundukkan wajahnya, menutupi gawai dengan rambutnya yang tergerai di kanan dan kiri kepalanya. Entah kenapa, ia merasa harus melakukannya, takut ketahuan oleh teman-temannya.

Lihat selengkapnya