Binar dan Jawaban-Jawaban yang Ia Temukan

Agita Anggita
Chapter #7

Menjauh

Halaman kampus terhilat longgar, lengang. Cuacanya masih belum hangat seperti pagi-pagi sebelumnya. Daun-daun dari pepohonan yang ada di banyak titik halaman kampus masih berpegang kuat pada dahannya, belum ada satupun yang rontok, jatuh ke atas tanah seperti yang sudah-sudah. Suasana begitu damai dan sepi seolah hari libur padahal bukan. Terang saja, masih sangat pagi. Pukul enam pagi.

Sebatang wafer cokelat dikunyah Binar. Ia duduk di salah satu bangku di halaman kampus. Cuma ada dirinya di sana. Tangan kanannya mengambil sebatang wafer lagi sementara tangan kirinya mengetik satu dua kata untuk menyusun sebuah kalimat dalam berita soal tempat makan paling hits di kotanya yang sedang ramai dibicarakan dua hari ini. Namun berita itu tidak kunjung selesai. Ia tak bisa menggunakan kapasitas otaknya bekerja secara optimal. Bukan karena sebelah tangannya sedang memegangi wafer, lantaran bayang-bayang tatapan mata Aksara di kepalanya masih begitu jelas. Iris matanya yang berwarna cokelat terang, menghentikan waktu Binar untuk beberapa saat. Genggaman tangannya apalagi, membuatnya terpaku. Binar seolah masih bisa merasakan kehangatan tangan Aksara. Binar sampai heran, kenapa bisa tangannya sehangat itu? Ia tidak pernah berpikir begitu sebelumnya.

Sejenak, ia berhenti mengambil wafer. Tangan kanan yang dari tadi sibuk itu sebentar ia lihat. Binar telusuri tiap jemarinya, ia perhatikan sela-selanya. Ia balik, dan lihat lamat-lamat punggung tangannya. Ia rentangkan agar semua dapat ia simak dengan teliti. Bersih. Normal. Tidak ada yang salah dengan tangannya yang kecil itu—kecuali tahi lalat yang bertengger di telapak jari manisnya. Tidak ada. Namun entah mengapa ia terus memandanginya seolah ia harus begitu. Binar mengembuskan napas. Kampus masih lengang.

Ia ke kampus cukup pagi. Lebih pagi dari pada jam masuk petugas akademik. Kampus masih sepi. Binar bahkan belum makan. Tapi ia bersikukuh berangkat ke kampus sebelum sarapan di warung Tegal kesukaannya. Padahal kantin kampus baru buka dua jam lagi. Alasannya tentu saja Aksara. Ia tidak mau—atau setidaknya belum mau bertemu dengannya. Kegugupan pasti melingkupi dirinya kalau bertemu dengan Aksara dalam waktu dekat ini. Dan ia meyakini lelaki itu akan sarapan di warung Tegal kesukaannya—sebuah pemikiran yang datang entah dari mana.

Hatinya berdebar. Ya, berdebar. Setiap kali ia mengingat kejadian kemarin… tatapannya… tangannya.,, bibirnya… ah tidak! Binar tidak suka mengingat hal yang tidak-tidak. Mau bagaimanapun ia tidak setara dengan Aksara. Lelaki itu punya kehidupan yang luar biasa. Seorang mahasiswa S2 tanpa beasiswa! Bayar mandiri, oh wow! Dari rumor yang disebar teman-teman kuliahnya, Aksara punya usaha jual beli kaos yang sepertinya lumayan sukses, kostnya pun di Erlangga, bukan kost ecek-ecek yang kumuh dan berantakan. Bahkan bisa dibilang cukup ekslusif. Motornya klasik, tidak semua orang punya. Binar tidak berani membayangkan sebuah adegan romantis dengan lelaki seperti itu. Bagaimana tidak? Ia sudah kelimpungan menghidupi dirinya sendiri, entah bagaimana caranya ia harus mencintai orang lain?

Mencintai?

***

Pyarrr!

Satu piring di dapur pecah lagi. Bulan ini sudah dua piring melayang ke udara lalu jatuh ke lantai, berubah menjadi serpihan keramik yang bisa merobek kulit kalau terinjak. Begitu pula merobek hatinya. Binar. Piring itu jatuh tepat di bawah meja makan. Cepat-cepat bapak mengambil sapu dan pengki, dengan terus mendengarkan ibu yang marah-marah kepadanya. Kemudian bapak menyapu pecahan piring itu dan menaruhnya di atas pengki. Sambil terus-terusan berkata.

“Maaf dek.”

Peristiwa ini bukan pertama kalinya, tapi tetap saja hatinya nyeri tiap kali menatap kedua orang tuanya bertengkar. Binar kecil cuma bisa berdiam di kamar satu-satunya di rumah itu. Menutup pintu, lalu kedua tangannya menutupi dua daun telinganya. Berharap suara bentakan dan makian yang ia dengar teredam. Bapak terus bilang ‘aku mencintaimu’ meski berkali-kali ibu berteriak kata ‘miskin’, ‘kurang ajar’, sebagai balasannya—entah untuk melabeli apa atau siapa. Yang jelas, setelah suara-suara menyakitkan itu mereda, Binar baru berani mengintip melalui jendela yang ia singkap tirainya sedikit.

Jendela kamar itu ada dua, satu menghadap ke halaman rumah dan yang lainnya menghadap langsung ke dapur, jadi ia bisa lihat bagaimana kondisi halaman dan dapur rumah dengan leluasa. Kasurnya berjejer dua buah, satu ukuran single dan satu ukuran double. Punya mereka bertiga. Ia mengintip, di dapur sudah tidak ada ibu. Batang hidungnya tak terlihat lagi, sedangkan bapak dengan langkah gontai pergi menuju kursi makan. Lalu duduk di sana. Binar masih belum berani keluar, karena ia takut bapak atau ibu akan meledak lagi, membuat persilihan mengudara lagi. Ia tidak mau terkena benda-benda yang dilempar ibu, ia tidak mau dipeluk bapak. Tidak dalam kondisi seperti ini. Ia takut. Takut sekali.

Lalu, masih dengan posisi mengintip yang sama, Binar melihat ibu keluar dari ruang penyimpanan barang berukuran satu kali satu meter, membawa sebuah tas besar dan sekantung kresek berisi baju. Keluarga binar tidak punya koper. Dulu sempat punya, namun entah bagaimana koper itu kemudian menghilang dari rumah. Jadi, tas besar itu sekarang adalah satu-satunya tas terbaik yang biasa dipakai untuk mudik ke kampung halaman ibu—yang sudah tak dilakukan lagi tiga tahun terakhir ini. Tas itu berdebu. Ibu menangis sambil sesekali bersin. Ia kadang tersedu. Lalu bapak hanya duduk di depan meja makan. Tangannya memijat pelipis kepalanya, napasnya memburu. Lalu ketika ia melihat istrinya hendak meninggalkannya, satu hal yang bapak ucapan kan dan selalu Binar ingat hingga besar nanti.

“Dek, jangan tinggalkan kami.”

Namun ibu tidak terusik dengan kalimat pendek bapak. Binar menutup gorden. Lalu ia menangis dengan suara tertahan. Binar kecil merangkak pelan-pelan, mengunci pintu kamar agar tak seorangpun masuk ke dalam sana. Ia kemudian membenamkan wajahnya ke atas bantal. Menangis dengan lepas. Namun tak lama kemudian iabangkit dan kembali mengintip ke luar jendela. Menyingkap tirai sekali lagi. Melihat kursi makan sudah kosong, bapak sudah pergi dari sana. Tirai itu dibukanya lebih lebar.

Di ruang keluarga—yang tak bersekat dengan dapur, terlihat bapak berlutut di hadapan ibu. Memohon untuk dirinya tetap tinggal bersama bapak dan Binar. Binar tentu tidak mengerti kenapa bapak harus sampai melakukan hal tersebut. Yang ia tahu adalah bapak dengan tersedu-sedu memohon ibu tetap bersama mereka. Bertiga.

Lihat selengkapnya