[PROLOG]
Malam itu, Binar tidak ingat betul apa yang terjadi. Ia hanya mengingat ambulans datang dengan membawa tubuh abangnya yang sudah terbujur kaku dan dingin.
Perpisahan sekolah kelas 6 yang seharusnya memiliki kenangan indah dan tangis haru, malah menjadi tangis sedih dan histeris. Pasalnya, bus untuk berlibur yang ditumpangi Alva, abang dari Binar, mengalami kecelakaan. Bus tersebut terguling dan berakhir dengan memakan korban. Sialnya, kenapa harus Alva yang menjadi korban jiwa dikejadian tragis tersebut?
Ibu menangis sejadi-jadinya. Ayah meraung-raung. Kali pertama bagi Binar melihat Ibu dan Ayah menangis seperti ini. Tatapan Ayah nanar, menyimpan kesedihan yang teramat sangat di sana. Sementara itu, Ibu yang syok dengan kenyataan anaknya terbaring di ruang tengah rumah, mengalami pingsan sesaat. Kesadaran Ibu yang kembali setelah pingsan, membawa kembali tangis yang terdengar pilu.
Binar yang masih berusia 10 tahun juga menangis seraya memeluk adiknya, Cahaya, yang saat itu masih berusia 6 tahun. Tangisan mereka tidak sehisteris Ibu dan Ayah. Kehilangan yang dirasakan Ibu dan Ayah tentu lebih dalam dari Binar dan Cahaya. Binar dan Cahaya juga kehilangan, tetapi mereka belum benar-benar mengerti arti dari ditinggalkan Alva di usia sedini itu.
Dua minggu setelah pemakaman Alva, pembagian rapor sekolah diadakan. Seperti biasa, nama Alvaro Putra Pratama kembali diumumkan dari podium sebagai peraih nilai tertinggi. Bedanya, kali ini kabar sukacita itu malah membuat Ibu kembali menangis. Penyebabnya tentu saja karena Ibu dan Ayah mengambil medali penghargaan tanpa kehadiran Alva. Juga penambahan gelar berupa ‘almarhum’ di depan nama Alva membuat Ibu tersadar anak sulungnya benar-benar sudah tiada.