Binar Kasih di Tengah Teror Gaib

Meliawardha
Chapter #1

Bab 1

Aku sering mendapat penglihatan yang menyeramkan akhir-akhir ini, bahkan makhluk itu bukan hanya sekedar menampakkan wujudnya, tetapi juga menyentuh, bahkan menyengkram tangan. 


Aku bukan penakut! Aku tak takut mendengar bisikan, cekikikan, atau tangisan di malam hari. Sering pula mengabaikan penglihatan yang menyeramkan. Biasanya cukup diatasi dengan memejamkan mata dan membaca doa sebanyak-banyaknya. Namun kali ini lain! 


"Lepaskan!" jeritku, sambil menghempas tangan besar berbulu itu dari tanganku. Cengkeraman itu justru semakin erat dan membuat kesakitan. Rasanya tulang-tulang di tangan seperti diremukkan. 


Kata Ayah, walaupun perempuan aku harus jadi pemberani. Tidak boleh takut pada apapun. Termasuk pada makhluk tak kasat mata yang orang-orang sebut hantu!


Aku tak tahu ini makhluk apa. Mungkinkah hantu? Raksasa? Atau bahkan makhluk dari luar angkasa? Hanya doa-doa yang terus terlantun dari bibirku yang menjadi fokus perhatian.


"Panas!" jeritan menggelegar terdengar dari makhluk aneh di hadapan. Kini dia melepaskan cengkeraman dan meniup-niup tangannya yang tadi mencengkeram. Aku menggunakan kesempatan ini untuk berlari.


Di sekelilingku terlihat banyak pohon-pohon beringin besar yang rimbun dan menyeramkan. Berkali-kali kaki ini tersandung, tetapi tetap berusaha bangkit lagi. Berlari, berlari, dan terus berlari, hanya itu yang ada dalam pikiran.


Namun tiba-tiba tanah yang kupijak seakan-akan bergoyang-goyang, seperti gempa ringan yang pernah terasa beberapa tahun yang lalu. Pandangan mata tiba-tiba ikut menggelap. Tubuh ini bahkan terasa ringan, seperti melayang. 


Ya Allah... Mungkinkah aku akan terbunuh oleh makhluk mengerikan itu? Inikah akhir hidupku? Sebelum sempat kau pertemukan dengan hambamu yang selalu kusebut namanya dalam doa .... 


****


Pada suatu malam yang cerah, di tengah gemerlapnya acara pernikahan kakak sepupuku, Kak Khilmia Azzizah, aku merasa terhipnotis oleh suara merdu seorang vokalis grup nasyid yang tampil memukau di atas panggung. Suaranya mengalun dengan penuh penghayatan, memukau pandangan mata ini, hingga tak mampu berkedip. 


Entah sebuah anugerah, atau sekadar kebetulan. Saat akan pulang, takdir mempertemukan aku dengan lelaki yang bersuara merdu itu. Dalam kilatan cahaya lampu tempat parkiran, mata kami bertemu dan terjalinlah kontak yang membuat detak jantung berdegup lebih cepat. Namun, keindahan momen itu terhenti seketika, saat seseorang menepuk bahu lelaki bermata almond itu sambil mengingatkan, "Astagfirullah, Gus!"


Sontak, suasana menjadi canggung. Lelaki yang dipanggil "gus" itu segera mengusap wajahnya sambil beristighfar. Tak lama kemudian terdengar permohonan maaf padaku dengan tulus, sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Nyuwun ngapunten, Mbak, saya lancang."


Seketika teringat kata-kata ayah, bahwa dalam islam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim diwajibkan untuk menjaga pandangan. Aturan ini semakin berlaku keras apabila seseorang itu berada di lingkungan pondok pesantren. Terlebih apabila bergelar "gus" maka memang sudah wajibnya melaksanakan dengan taat demi memberi contoh pada santri-santrinya. Panggilan "gus" biasanya disandang oleh anak-anak atau para cucu kyai pemilik dan pengasuh pondok pesantren. 


Di gedung resepsi, suara gemuruh dari kerumunan acara pernikahan masih terdengar. Meskipun bagiku waktu itu, dunia seakan berhenti berputar.


Namun, semua kembali normal saat ayah menepuk bahuku, "Ayo, Mei, katanya mau ngajak pulang!"


Sebelum kemudian ayah menyadari siapa yang ada di depanku, "Eh, wonten Gus Azka!" Ayah kemudian mengajak mereka berdua bersalaman. Mereka bertiga sempat berbasa-basi sebentar, sampai akhirnya lelaki yang tadi menepuk pundak Gus Azka mengajaknya naik mobil dan pulang. Keduanya berpamitan dengan sopan, bersalaman dengan ayah dan menangkupkan tangan di depan dada saat memberikan isyarat pamit padaku.

Lihat selengkapnya