Binar Kasih di Tengah Teror Gaib

Meliawardha
Chapter #2

Bab 2

Aku tengah berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Saat ini malam telah melingkupi seluruh lingkungan pondok pesantren dengan kegelapan. Karena lampu-lampu sudah banyak yang dipadamkan. Pukul sepuluh malam seluruh santriwati di pondok pesantren memang sudah diharuskan untuk tidur, tidak boleh ada kegiatan apapun lagi. 


Setibanya di kamar mandi suasana tenang yang tadi terasa, berubah menjadi firasat yang mencekam. Ketika aku sedang menunggu kran yang tengah mengalirkan air ke dalam bak mandi, tiba-tiba terdengar suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding. Suara itu seperti bisikan halus yang menggetarkan keberanian. Logika ini mencoba mengabaikannya, menduga hanya halusinasi dari suara angin yang berhembus.


Namun, tiba-tiba lampu kamar mandi padam seketika. Aku pun mulai membasahi kaki dengan air, mempercepat langkah, agar segera bisa kembali ke kamar. Justru sensasi aneh mulai semakin terasa. Aku justru merasa seperti ada sesuatu yang menyentuh tanganku dari dalam bak mandi, sesuatu yang besar dan berbulu. Aku menutup mata, berdoa agar ini semua hanya imajinasi yang berlebihan.


Parahnya sentuhan itu justru berubah menjadi cekalan. Bahkan seakan-akan menarik tubuhku. Aku pun membuka mata, dan melihat sesuatu yang membuat terbelalak kaget. Di keremangan cahaya yang berasal dari sinar bulan, tembusan dari sela-sela ventilasi kecil, tampak di dalam bak mandi ada bayangan sebuah tangan besar berbulu yang sedang mencekal sebelah tanganku. Aku mencoba berteriak kencang, sambil berusaha memberontak agar dapat melarikan diri dari ancaman yang mengintai.


Secercah harapan muncul saat mendengar rekan sekamar memanggil, "Mei, kamu nggak apa-apa?"


Cekalan itu pun mengendur. Aku pun langsung menarik tanganku dengan kasar, hingga kulit ini terasa perih karena tergores kuku tangan misterius yang tajam dan panjang. 


"Tungguin aku, Nis! Aku takut gelap." Hanya itu yang bisa aku katakan. 


Sebelum aku berangkat ke kamar mandi Nisma sudah menawarkan diri untuk menemani, tetapi kutolak dengan alasan, "aku bukan anak kecil lagi." 


Sejak tengah malam itu, ketika kami mendengar bunyi ketukan di jendela tiga kali, kebanyakan santriwati tidak berani untuk keluar dari kamar sendirian. Ternyata malam itu bukan hanya kamar kami yang mendengar bunyi demikian. Hampir semua santriwati mengatakan bahwa mereka juga mendengar suara yang persis sama. Bahkan santriwati yang sebelumnya tertidur dengan lelap, bisa tiba-tiba terbangun tepat saat mendengar suara itu. 


Aku pun memutar kran demi menghentikan aliran air, sambil berusaha untuk menenangkan diri sendiri dari kepanikan yang sempat menyergap. Kemudian berjalan mundur menjauh dari bak mandi, sedikit mencubit tangan yang tak tersentuh makhluk mengerikan, berharap bahwa dengan melakukannya bisa mengakhiri mimpi buruk. Namun, nyatanya semua bukanlah mimpi. Ketika aku menoleh lagi ke dalam bak mandi, tangan besar sudah lenyap tanpa jejak, meninggalkan aku dalam ketakutan dan rasa penasaran yang begitu besar.


Aku keluar dari kamar mandi sambil gemetaran, langsung menarik tangan Nisma, dan mengajaknya berlari menuju kamar kami. Dalam hati berharap bahwa itu semua hanya mimpi buruk yang akan segera berlalu.


Sesampainya di kamar, Nisma meraih tanganku dan menatapnya heran, "Tanganmu kenapa, Mei? Seperti berdarah." 


Lihat selengkapnya