Binar Kasih di Tengah Teror Gaib

Meliawardha
Chapter #3

Bab 3

Hari demi hari berjalan dengan ketegangan yang masih terus mengikuti, dikarenakan datangnya seluruh rangkaian kejadian. Mulai dari mimpi buruk, ketukan di jendela, tangan besar mengerikan di kamar mandi, dan terakhir adalah kucing besar menyeramkan di depan gerbang asrama santriwati. Namun, semua teror misterius itu seolah belum cukup. Sejak tiba di desa ini aku mulai merasakan adanya teror rayuan dari seseorang yang tak terduga. Bahkan teror itu hadir duluan sebelum serangkaian teror misterius.


Malam itu saat aku akan memejamkan mata, tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel. Aku memutuskan untuk mengangkat panggilan itu di luar kamar. Karena usiaku sudah di atas tujuh belas dan merupakan santriwati tingkat kuliah, aku diizinkan menggunakan ponsel. Namun harus dimatikan saat ada jadwal mengaji dan menjelang waktu tidur.


"Hallo, Meidina." Ternyata suara dari seseorang yang seharusnya dihormati di desa ini. Entah dari mana dia mendapatkan nomor ponsel.


"Assalamualaikum, Pak Kades."


"Iya, Waalaikumsalam, Meidina cantik..." Suaranya membuatku merinding, risih.


"Astagfirullah! Ada apa sih, Pak?" tanyaku dengan ketus.


"Aku lagi nggak bisa tidur, Mei. Maukah kamu menemani mengobrol sebentar? Dan jangan panggil Bapak! Umur kita kan nggak jauh beda." Menurut penuturan Nisma, Pak Kades memang baru berumur 27 sewaktu dirinya dilantik, baru setahun lalu.


"Maaf, Pak, saya nggak bisa. Kita berdua kan bukan muhrim, Pak!"


Semua sikap ketusku bukannya membuat dia mundur, tetapi justru semakin gencar melancarkan rayuan. Seolah tertantang. "Halah, cuma teleponan ini. Bukan ketemuan."


"Sama aja Pak. Namanya berduaan mau itu teleponan atau ketemuan. Kalau sama-sama membangkitkan nafsu jatuhnya tetap dosa."


"Oh... jadi kamu bisa nafsu sama aku?"


"Pak kalau obrolan ini nggak penting mendingan kita akhiri! Saya sedang sibuk."


"Sok sibuk. Lagi ngapain emang, Mei?"


"Nidurin Gus...." sebelum sempat aku meneruskan kalimat, terdengar istighfar dari seberang sambungan telepon.


"Astaghfirulloh ... Aku laporin Bu Nyai Lutfia, lho!"


"Justru Bu Nyai yang meminta saya."


"Nggak mungkin!" Nada suaranya terdengar meninggi.


"Kalau Bapak nggak percaya saya bangunkan Bu Nyai, ya? Biar beliau yang marahin Bapak karena ganggu santriwatinya!"


"Oke! Mana Bu Nyai kamu? Buktikan." Kali ini nada suaranya terdengar menantang.


Aku menghela napas, dan memijat pelipis dengan sebelah tangan yang tidak memegang ponsel, "Serius ini, Pak. Bu Nyai lagi di samping Gus Faza. Dari tadi dia rewel, ditinggal Ning Saida dan Gus Yassar ke luar kota ngisi ceramah di acara pengajian. Gus Faza bilang nggak mau tidur kalau nggak ditemani sama Mbak Mei dan Mbah Ummi."


Terdengar Pak Kades menghela dan menghembuskan napas dengan kasar. "Itu sih namanya nemenin tidur, Meidina Azzahra! Bukan nidurin."


"Dari sejak saya mondok di sini Ning Saida kalau pamit bilangnya mau nidurin si Gus kecil. Bapak aja yang pikirannya perlu dirukiyah."

Lihat selengkapnya