Seolah baru kemarin, ayah dan ibuku mengantarkan aku ke pondok pesantren ini...
Pandangan mataku langsung terpesona, melihat berdirinya dengan gagah lima gedung bertingkat yang didirikan berdampingan, semuanya berfungsi sebagai tempat para santriwati menimba ilmu. Gedung pertama di dekat gerbang masuk, adalah gedung universitas di mana aku melanjutkan kuliah. Gedung kedua yang di sampingnya, adalah gedung untuk Aliyah dan Tsanawiyah, sekolah setingkat SMA dan SMP. Sedangkan gedung ketiga, adalah yang diperuntukkan bagi gedung sekolah setingkat SD, TK, dan playgroup atau kelompok bermain. Gedung Keempat, adalah tempat tinggal Pak Kyai, Bu Nyai, dan keluarganya. Gedung kelima, yang dekat dengan perkebunan sengon adalah kamar-kamar asrama santriwati.
Di desa ini ada dua pondok pesantren yang berdiri. Pondok Pesantren putra terletak di sebelah utara berbatasan dengan kantor desa, dan dibawah pengasuhan Kyai Gufron, sepupu dari Kyai Utsman. Di sana berdiri tiga gedung yang juga tidak kalah megah. Bedanya gedung pertama adalah Madrasah sore dan TPQ, gedung kedua asrama santri putra, dan gedung paling belakang, barulah tempat tinggal keluarga Kyai.
Aku takjub sendiri berhasil menghapal informasi itu di luar kepala, dan menjelaskan pada kedua orang tuaku. Berbekal informasi lengkap yang dipajang di website yayasan, yang berhasil aku temukan saat mencari di Google.
"Sepertinya Mei benar-benar serius dengan pilihannya kali ini, Bu. Terlihat jelas dengan betapa semangatnya dia menjelaskan tentang tempat ini pada kita." Ayah mengungkapkan kalimat yang membuatku semakin yakin bahwa beliau mendukung.
Namun, ibu tidak mengatakan apapun. Hanya mengedarkan pandangan dengan sikap seolah-olah menilai dan mempertimbangkan. Setelah lelah dengan segala upaya untuk meyakinkan ibu, akhirnya aku memutuskan untuk membiarkannya. Bagiku dukungan dari ayah sudah lebih dari cukup.
Setelah aku selesai memperkenalkan nama-nama gedung dan fungsinya, kini giliran ayah yang melangkah di depan, memimpin perjalanan menuju rumah Pak Kyai dan Bu Nyai untuk sowan, bertemu dalam rangka berkenalan dan mendaftarkan diriku.
***
Ayahku sebenarnya terlahir dari lingkungan pesantren, tetapi beliau tidak ingin menjadi penerus kepemimpinan almarhum kakekku. Beliau memilih jalannya sendiri sejak lulus madrasah Tsanawiyah (pendidikan setingkat SMP), memutuskan tinggal di rumah pamannya (kakaknya nenek) di Malang, kemudian meneruskan sekolah ke SMA Negeri, bersama dengan para sepupunya.
Ayah benci dengan kebiasaan poligami yang sering dilakukan beberapa pengurus pondok pesantren atau pun ulama terkenal. Termasuk apa yang dilakukan kakek dulu. Ayah sedih karena setiap malam tanpa sengaja sering mendengar nenek menangis diam-diam di kamarnya. Belum lagi omongan tetangga, yang bahkan terang-terangan berbisik-bisik membicarakannya saat tak sengaja berpapasan. Bahkan terkadang beberapa teman sekolah mengoloknya, dengan sebutan anak tukang poligami.
"Tapi bukankah tidak semua ulama berpoligami ayah? Buktinya Gus Dur tetap setia pada ibu Sinta sampai akhir hayat." Aku mempertanyakan kenapa beliau memukul rata, seolah orang-orang di lingkungan tersebut akan berlaku sama.
Ayah terdengar menghela napas, dan menyandarkan tubuhnya ke sofa ruang keluarga, "Andai ayah dulu sebijak dirimu."
Namun aku bisa mengerti, Gus Dur baru populer saat beliau sudah kuliah, itu yang pernah diceritakannya suatu ketika saat kami sedang menyaksikan berita tentang sosok tersebut di layar kaca. Saat ayah memutuskan pergi, mungkin beliau masih terlalu muda untuk mengerti. Informasi kala itu juga belum semudah didapatkan sekarang. Sehingga yang bisa ayah lihat dan ketahui, hanyalah keadaan yang ada di sekelilingnya.
Aku dan ayah sepakat bahwa poligami memang tidak dilarang dalam islam. Namun kami menyayangkan banyaknya pihak yang menyalahgunakan. Sehingga dalam praktiknya sudah tak semurni ajaran Rasulullah dahulu.
***