Aku dan Nisma bertugas memasak untuk hari ini. Aturan yang berlaku di pondok pesantren ini, tugas memasak untuk menu makan bersama para santriwati diberlakukan giliran. Agar semuanya mendapatkan kesempatan belajar memasak.
"Kita kan tidak tahu apa yang terjadi di kemudian hari. Siapa tahu misalnya suatu saat nanti mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Kan kalau kita sudah pandai memasak, jadi tidak perlu khawatir dengan menu makanan. Kita bisa menjamin sendiri bahwa yang kita konsumsi halal." Begitulah ucapan Ning Saida, saat pertama kali menjelaskan tugas dan kewajibanku selama di pondok pesantren.
Waktu sowan pertama kali itu, Ning yang mengajakku berkeliling dan menjelaskan. Sedangkan Ayah dan Ibu berbincang-bincang dengan Pak Kyai dan Bu Nyai. Rupanya mereka sudah tahu tentang asal usul keluarga besar ayahku. Bahkan kami masih punya hubungan kekerabatan. Ayah sendiri juga tidak menyangka demikian, karena beliau terlalu fokus dengan pekerjaan dan kehidupan kami sekeluarga di Surabaya. Tak pernah meluangkan waktu untuk bersilaturahmi dengan kerabat jauh.
"Malah ngalamun nih, bocah! Tuh, potong-potongin tempenya!" Nisma menyenggolku yang berdiri diam memandang ke luar jendela. Terpaku pada pemandangan kebun dengan pohon-pohon besarnya.
Ketika mengambil tempe yang terbungkus koran bekas, tiba-tiba aku tertarik untuk membacanya.
"Setelah menyelesaikan studinya di Bandung, Hilman Mustafa kembali ke desa dengan bekal ilmu yang dimilikinya. Meskipun masih muda, Hilman mempunyai tekad yang kuat untuk berperan aktif dalam kemajuan desa tempat kelahirannya. Dengan semangat yang menyala, Hilman memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa dalam ajang pemilihan kepala desa yang diadakan tahun lalu. Hingga akhirnya dia berhasil mengalahkan lima calon lain dalam pemilihan kepala desa."
"Cie, profil Pak Kades idola kamu tuh!" goda gadis berkulit cokelat itu.
"Hih!" Aku segera merobek-obek selembar potongan koran itu dan membuangnya ke tong sampah. "Aku nggak suka sama laki-laki yang nggak bisa jaga pandangan! Matanya jelalatan!" Aku menggosok lengan panjang baju, karena di baliknya kulitku tiba-tiba terasa bergidik.
Nisma menoleh dengan senyuman lebar dan tatapan penasaran, "Oh iya? Memang laki-laki seperti apa yang kamu mau?"
Aku kembali menatap pemandangan di luar jendela, "Yang sopan santun, menundukkan pandangan, dan terjaga pergaulannya."
"Ooh.... Yang kayak mas-mas di pondok seberang? Atau spesifik, yang kayak gus di Yogyakarta?" Nisma mengerling, menggodaku.
"Gus Azka di Yogyakarta?" tanyaku terpancing.
Selama ini, aku selalu bertanya-tanya, kenapa sejak tiba tidak pernah sekali pun berpapasan dengannya. Namun memilih untuk memendam rasa penasaran itu dalam hati, lantas mengambil kesimpulan sendiri bahwa dia mungkin sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren lain, walaupun tak tahu persisnya di mana. Mungkin saja sama seperti Kak Khilmi dan adik-adiknya, yang dikirim orang tuanya untuk menimba ilmu di pesantren lain, agar dapat belajar mandiri.
"Aku kan sudah mondok di sini sejak tsanawiyah. Apa sih yang aku nggak tahu?" responnya, dengan nada yang terdengar bangga. "Kamu mau nanya sesuatu?"
Sebelum sempat aku mengajukan pertanyaan yang selalu berputar di benakku, Ning Saida sudah berdiri di ambang pintu. "Sebentar lagi waktunya makan siang. Kalian jangan lama-lama ngerumpinya." Volume suaranya pelan, tetapi terdengar tegas.