Harus aku akui bahwa Hilman Mustafa bisa dibilang cukup mampu dalam menghadapi permasalahan yang kebanyakan timbul di desa ini. Setiap sudut desa berhasil menjadi saksi bisu betapa maju pesatnya pembangunan infrastruktur, bahkan melebihi desa-desa yang lainnya. Aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku, saat Ning Saida mengajakku berkeliling desa sembari menunggu Gus Faza yang masih asyik bermain dengan teman-temannya di lapangan desa pada suatu sore.
Aku yang juga sering diajak menemani Ning Saida mengantarkan Gus Faza posyandu, menyaksikan sendiri betapa pelayanan kesehatan di desa ini begitu lengkap dan terjamin. Satu fakta yang membuatku semakin salut pada keluarga ini, walaupun mereka pemilik Pondok Pesantren modern yang pasti mampu untuk membayar dokter spesialis di rumah sakit swasta sekali pun, tetap lebih memilih memanfaatkan fasilitas sederhana. Hampir setiap datang Neng Saida juga membawakan cemilan sehat yang dibagikan untuk anak-anak yang juga sedang ke posyandu di waktu yang sama.
Kembali ke prestasi Pak Kades, Ning Saida juga pernah menceritakan, bahwa sejak dia menjabat banyak sekali inovasinya dalam memajukan pendidikan di wilayah ini. Ditambah lagi pengembangan ekonomi masyarakat yang juga patut dibanggakan. Dia sering mengundang beberapa orang hebat untuk datang ke kantor desa dengan biaya akomodasi dari kantong pribadinya, membuka kesempatan pada siapapun warga yang bersedia datang ke kantor desa untuk belajar pada setiap minggu malam.
Namun sederet kelebihan Pak Kades, tak mampu menggantikan bayangan Gus Azka di benakku.
"Ya, nggak tahu, Bu. Aku kan bukan istrinya." Aku berusaha keras agar nada suara ini tidak terdengar ketus.
"Lah, dia kan memang belum punya istri? Pepet terus aja biar dia cepat meresmikan kamu jadi istrinya." Nada suara di seberang sana justru terdengar menggoda.
"Ya terus, kalau dia emang belum punya istri, kenapa nanya aku, Bu? Lagian ngapain juga sih aku mepet-mepet, orang aku nggak suka sama dia."
Dari nada suaranya ibuku seperti terdengar terkejut dengan jawaban tersebut, "Lah katanya kalian pacaran? Ibu pikir kamu termotivasi belajar di pesantren ini agar lebih dekat dengannya."
"Ibu kok sekarang jadi pintar ngarang cerita? Lagian dalam Islam nggak boleh tahu pacaran."
"Dih! Kok Ibu sih yang ngarang cerita? Orang dia sendiri yang ngomong." Ibu terdengar tidak terima dengan tuduhanku. Sebelum kemudian beliau menarik napas berat dan menghembuskannya, lalu berbicara dengan lebih tenang. "Iya, Ibu ini tahu dalam Islam memang nggak boleh pacaran, tapi kan nggak semua orang islam mempraktekkannya dengan baik. Orang Gus kamu aja pacaran."
Seketika jantungku seakan mau loncat saat ibuku sendiri yang menyindir perihal gosip Gus Azka.
Kini giliran aku yang menghela napas dahulu sebelum menanggapi, "No comment soal Gus." Namun emosiku tiba-tiba memuncak ketika menyebut laki-laki itu, "Tapi beneran Pak Kades ngomong gitu ke Ibu? Wah, sialan tuh orang. perlu dikasih pelajaran!"
Mama terdengar menghela napas, "Oke, udah, Mei. Tenang. Percayalah! Ibu lebih percaya sama kamu. Tapi tolong, jangan bertindak macam-macam ya? Jangan bikin malu Ayah sama Ibu. Jadilah santriwati yang baik. Setidaknya kalau kamu tidak bisa membanggakan Ibu seperti keinginan Ibu. Janganlah kamu mencoreng nama baik keluarga kita. Ingat baik-baik, beladiri yang diajarkan kakekmu jangan dipraktekkan sembarangan!"
Mendadak memori tentang kakek yang telah lama tiada menyergap seketika, menghadirkan rindu saat-saat bersamanya, ketika aku masih kanak-kanak. Andai kakek masih ada, beliau pasti akan selalu membelaku dari Ibu. Sementara ibuku takkan mampu berkutik apabila ayahnya yang bicara, sekalipun ayahnya tak pernah kasar. Sikap diamnya yang justru sangat manjur untuk membuat ibu selalu patuh padanya.
"Iya, Bu, iya. Mei juga nggak punya waktu buat ngurusin pengakuan nggak jelas kayak gitu. Tapi Ibu bisa ketemu sama dia di mana sih?"
Kemudian mengalirlah cerita tentang Pak Kades yang mendadak menjadi pahlawan.