Seolah diselamatkan oleh Allah, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu ruangan. Ning Saida buru-buru berdiri dan membukakan pintu. Seketika napasku seakan terhenti, sesosok laki-laki yang aku tunggu selama ini berdiri di balik pintu.
"Dek!" Ning Saida dan Gus Azka berpelukan.
"Aku nggak bisa lama-lama di sini Mbak. Cuma mampir sebentar. Grup nasyid kampus ada undangan di pesantren Probolinggo."
Ketika tatapan mata kami tak sengaja bertemu, aku langsung menunduk dan istighfar. Ning Saida langsung mengajaknya keluar, seolah lupa keberadaanku di sini. Namun aku tetap menunggu kedatangannya kembali.
Aku masih duduk di tempat yang sama, sembari beristighfar berkali-kali, juga berusaha mengatur napas. Sebab detak jantung mendadak menggila sejak tatapan mata sekilas kami baru saja.
Tak berapa lama Ning Saida datang sambil tersenyum dan geleng-geleng. "Ada-ada aja Azka. Masa tadi kan dia nanya kenapa kamu yang kelihatannya santriwati baik-baik dan lemah lembut, dipanggil ke ruangan interogasi seperti ini. Aku jawab kamu habis meluntir tangan Pak Kades, awalnya dia terkejut, kemudian dia ngakak. Anehnya dia malah bilang kalau kamu cewek yang hebat."
Seketika detak jantungku semakin tak terkendali, dia yang selama ini aku dambakan ternyata menganggapku hebat. Berbeda dengan kebanyakan orang yang menuduhku bersalah.
"Akhirnya dia jujur kalau beberapa kali tak sengaja memergoki Pak Kades menggoda santriwati yang cantik, kebanyakan dari mereka memilih tertunduk diam karena takut. Hingga Azka akhirnya harus turun tangan menyelamatkan. Biasanya Azka cukup menggertak dengan deheman, kemudian mengatakan pada santriwati itu bahwa dia dipanggil Bu Nyai. Seketika santriwati itu lari meninggalkan Pak Kades yang tak bisa berkutik apa-apa. Namun selama ini Azka nggak pernah cerita, karena nggak ingin memperpanjang perkara."
Aku sudah menduga kelakuan Pak Kades itu memang tidak beres. Firasatku memang belum pernah salah. Terima kasih ya Allah... Atas anugerah ketajaman firasat ini.
"Azka memintaku untuk membebaskanmu dari hukuman apapun. Jadi kamu bisa keluar sekarang dan lupakan semuanya."
"Terima kasih banyak, Ning." Aku berkali-kali membungkuk, sangat berterimakasih padanya.
***
Tiba-tiba dua orang gadis mencegatku, yang satu berhijab biru muda, satunya lagi kuning cerah. Padahal aku harus segera kembali ke pesantren, setelah mengejar tukang jualan tahu yang tidak dengar saat dipanggil di halaman pesantren.