Seolah masih terngiang-ngiang di telinga, ketika ibu menjelaskan sebuah kejadian tak terduga saat berangkat pulang dari pesantren beberapa waktu lalu.
Seusai keluar dari area pesantren, mobil ayah tiba-tiba mogok tepat di rel kereta api. Ibu dan ayah merasa panik, terjebak di tengah situasi yang berbahaya. Namun, untungnya, Pak Kades yang sedang lewat mengendarai motor, langsung menyadari situasi tersebut. Tanpa berpikir panjang, Pak Kades segera berteriak meminta tolong kepada warga sekitar untuk membantu mendorong mobil ayah agar tidak menghalangi jalur kereta api dan mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan.
Setelah berhasil memanggil sekelompok warga untuk membantu, akhirnya mobil dan kedua orang tuaku berhasil diselamatkan dari bahaya. Aku merasa sangat bersyukur atas pertolongan tak terduga dari Pak Kades yang telah menyelamatkan kedua orang yang kucintai.
Setelah insiden tersebut, Pak Kades berkenalan dengan ibu dan ayah. Hingga akhirnya dia mengetahui bahwa mereka adalah orang tuaku. Dia kemudian mengungkapkan perasaannya, bahwa dia telah terpesona pada putri mereka. Pak Kades berharap agar ibu dan ayah dapat merestui hubungan kita. Pak Kades juga mengaku-ngaku jika dia adalah kekasihku.
Tangan Pak Kades yang berkelebat di depan muka, seketika menyadarkan dari lamunan. "Kamu kok ngelamun? Kenapa? Ingat masa lalu? Jadi bener dong apa yang aku katakan?"
Nisma menarik tanganku, "Ayo, Mei, kita segera pergi dari sini!"
Dengan terseok-seok aku mengikuti langkah kaki sahabatku itu, meninggalkan Pak Kades tanpa sepatah kata pun. Bahkan tak tertarik untuk menoleh sama sekali.
***
Walaupun tidak tinggal di lingkungan pesantren, tetapi sama sekali tak pernah terbersit keinginan untuk berpacaran. Terlebih aku sudah mengenakan jilbab sejak usiaku sepuluh tahun. Aku bahkan masih mengingat jelas, pengalaman pertama kalinya aku mengenakan jilbab.
Aku berkali-kali mematut diri di cermin, merapikan jilbab berwarna putih yang merupakan hadiah ulang tahunku yang ke sepuluh. Tepatnya seminggu yang lalu. Kata Kak Khilmi, remaja seusiaku sudah saatnya belajar berjilbab, mengingat sebentar lagi akan menjelang akil baligh. Waktu di mana semestinya setiap muslimah mulai menjalankan kewajiban menutup aurat.
Aku masih sangat canggung dengan penampilan baruku. Sehingga di sekolah masih berkali-kali mengambil cermin dari tas, menggunakannya untuk melihat paras ini.
"Oh My God ... Mei, kamu tambah cantik kalau pakai jilbab," sapa Cristina, saat berpapasan denganku di depan pintu kelas.
Aku yang tadinya berniat segera masuk, jadi berdiri salah tingkah. Aku tersipu. Tak menyangka sahabat yang berbeda keyakinan denganku justru mendukung keputusan ini.
Meskipun tidak lagi hidup di lingkungan pesantren dan memilih jalur pendidikan formal yang berbasis nasionalisme, sehingga pengetahuan agamanya mungkin tidak terlalu mendalam, tetapi ayah tetap mempertahankan ketaatan kepada Allah. Beliau tetap melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan. Termasuk mengajariku mengaji dengan sabar dan menanamkan nilai-nilai dasar islami.