Aku berusaha menenangkan ibu dengan saran-saran yang kuanggap dapat membantu mengatasi masalah gangguan gaib yang mereka alami. Seperti lebih rajin beribadah dan berbuat baik, serta berdzikir setiap saat dan setiap waktu. Dengan dada yang bergemuruh, aku mengisahkan pengalaman sendiri dalam menghadapi hal-hal gaib dan bagaimana akhirnya berhasil melewati ujian tersebut. Semuanya berhasil terbongkar berkat pertolongan Allah. Maka sebaiknya kita semua berpegang pada ajaran agama dan keyakinan kuat terhadap Allah.
Namun, reaksi ibu sungguh berbeda jauh dari yang diharapkan. Bukannya merespon dengan baik atau setidaknya membuka pikirannya, ibu malah menuduh aku ini sok tahu dan menganggap enteng masalah gaib. Dia menyalahkan sudut pandangku yang menurutnya dipengaruhi oleh sugesti orang desa yang kurang pendidikan. Tentu saja aku merasa terluka dan sedih karena reaksi ibu. Sungguh tidak habis pikir mengapa beliau menolak untuk melihat situasi dan kondisi ini dengan sudut pandang yang lebih terbuka. Padahal aku hanya berusaha memberikan solusi terbaik.
Dalam keputusasaan, aku pun berdoa berdoa dalam hati, memohon petunjuk dan kekuatan dari Allah demi menghadapi ujian yang semakin berat ini. Masih berharap suatu saat nanti, agar ibu mampu membuka hatinya dan bersedia mendengarkan saran-saran baik tersebut.
Untuk menghindari perdebatan, aku akhirnya mengalihkan pembicaraan. Bertanya tentang bagaimana kabar nenek, tentang siapa saja yang ibu temui di desa tempat kelahirannya tersebut, dan menanyakan tante dan sepupu yang tinggal serumah dengan nenek. Ibu kemudian larut dalam cerita-cerita yang membuatnya merasa lebih baik, sehingga hati ini pun menjadi lega.
Begitu telepon diakhiri aku pun menggumam sendiri, "Memangnya apa salahnya sih memperbaiki ibadah? Kalaupun ibu tidak mau percaya pada adanya hal-hal gaib, setidaknya mungkin tindakan itu bisa menambah pahala ...."
Aku yang tak mungkin memilih tidur karena waktunya sudah terlalu sore, akhirnya membuka story Whatsapp teman-teman yang nomornya tersimpan. Kemudian pandangan mata ini tertuju pada story milik Ilmiyah. Dia rupanya sedang bersemangat bercocok tanam organik, terlihat banyak memposting kegiatannya di story aplikasi dengan simbol telepon hijau tersebut.
***
Aku memutuskan untuk menemui Ilmiyah ke rumahnya, pada suatu minggu pagi, di mana jadwal kuliahku sedang libur. Dia menyambutku dengan keramahan yang tidak terduga. Mungkin karena masalah yang menimpa kami bertiga telah berhasil diselesaikan, wajahnya tampak lebih ceria dari sebelumnya.
"Hai, Mei! Aku senang sekali kamu berkunjung ke kebun kecilku. Oh iya! Aku lagi panen kelengkeng. Kamu harus cobain!"
Kemudian dia mulai membahas ketika dia begitu bersemangat dengan acara belajar yang menjadi inovasi Pak Kades di kantor desa. Namun, juga mengungkap penyesalan karena tanpa sadar semangatnya justru pemicu kecemburuan seorang perempuan.
"Sejak kedua orang tuaku bilang bahwa mereka tidak mendukung aku kuliah, aku seperti terpuruk. Mereka lebih mengutamakan pendidikan bagi saudara laki-lakiku. Tapi sejak Pak Kades mengundang orang-orang penting menjadi pembicara dalam pelatihan di kantor desa, aku merasa mendapatkan harapan. Sayangnya karena terlalu bersemangat, justru melakukan sebuah kesalahan. Semestinya aku bersikap normal saja seperti murid-murid pelatihan yang lain. Bukannya menunjukkan semangat yang berlebihan seperti Kemarin-kemarin."
Aku mengatakan bahwa itu bukan salahnya justru sekretaris desa itulah yang aneh, karena cemburu yang tidak pada tempatnya. Namun, kulihat tatapannya justru terlihat menerawang. Ilmiyah bercerita bahwa dulu dia mencintai seseorang, akan tetapi karena rasa cemburu dikarenakan ketidakpercayaan diri akhirnya hubungannya kandas. "Betapa besar pengaruh cemburu dan rasa tidak percaya diri dalam menghancurkan hidup wanita itu sendiri, Meidina. Mungkin kamu belum mengalaminya."
Seketika aku terdiam. Sesungguhnya sudah terjadi padaku yang namanya merasakan cemburu, tetapi mungkin karena berada di lingkungan pesantren, sikap dan cara berpikirku bisa lebih terjaga.