Sewaktu aku menoleh tampak Pak Dosen sudah berdiri dengan tangan dilipat di depan dada. "Sudah... Sudah... Berhentilah bergosip! Mari kita belajar sekarang."
Pak Dosen kembali ke mejanya dan mulai membuka laptop, "Lagi pula apa gunanya sih membicarakan orang lain? Tidak akan membuat kita kaya raya! Malah yang ada menabung dosa."
***
Pagi berikutnya, suasana di kampus bertambah heboh ketika kabar tentang kunjungan Gus Azka ke pesantren milik ayahnya Safira tersebar dengan cepat. Bisik-bisik para mahasiswi terdengar semakin riuh. Seolah lupa pada pesan sang dosen di hari sebelumnya.
"Netizen menjadi semakin yakin bahwa kunjungan itu bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan langkah awal menuju pernikahan dengan Safira," ungkap salah satu mahasiswi dengan menggebu.
Sementara mahasiswi yang lainnya ikut menambahkan, "Ya jelaslah, memang apalagi alasan kedatangan Gus Azka ke pesantren tersebut kalau bukan untuk melamar Safira?"
"Iya, sih, kayaknya iya." Dengan tak kalah semangat yang lainnya ikut menimpali.
Aku yang sudah banyak terbebani oleh berbagai gosip sebelumnya, merasa semakin tertekan dengan kabar ini. Hati ini rasanya dipenuhi oleh kegalauan dan kesedihan membayangkan masa depan tanpa Gus Azka. Semua impian dan harapan selama ini, tampaknya mulai runtuh di depan mata.
Aku menepuk dada yang tiba-tiba terasa sakit, secara refleks. Kemudian memilih menjauh dari teman-teman kuliah yang sedang asyik bergosip. Untungnya aku sudah membeli earphone, saat perjalanan menuju rumah Ilmiyah. Ternyata tak jauh dari tempatnya ada semacam counter kecil, tempat menjual berbagai aksesoris ponsel. Walaupun murahan dan gampang rusak, setidaknya bisa menghalau suara-suara yang tidak kuinginkan. Aku pun segera memutar lagu-lagu islami, tetapi menghindari lagu-lagu yang dilantunkan Gus Azka. Karena yang ada justru menambah luka.
Ya Allah kuatkan hamba. Ajarkan bagaimana caranya mengikhlaskan dan berserah sepenuhnya pada-Mu ....
***
Suatu pagi di hari Minggu, saat aku sedang menemani Gus Faza bermain di ruang keluarga, tiba-tiba layar televisi menayangkan infotainment yang sedang memberitakan profil Safira. Padahal tadinya kami sedang menonton kartun. Sewaktu Ning Saida yang sedang sibuk mengurus administrasi pesantren menyuruhku mengganti channel, Gus Faza justru rewel, sehingga akhirnya kami memilih pasrah.
Acara dibuka dengan rekaman saat Safira tengah mengaji dengan penuh khidmat. Seketika napasku seakan berhenti sejenak, betapa merdunya suara itu. Aku pun mulai menyadari bahwa Safira memang yang terbaik untuk Gus Azka.