Aku merasa dejavu dengan apa yang terjadi. Semuanya tampak persis, dengan kejadian hampir setengah tahun yang lalu. Hanya tersangkanya yang kali ini berbeda. Ditambah dengan kehadiran ayah dan ibuku. Aku dan ibu saling berpegangan tangan untuk menguatkan. Ibu yang kemarin sangat keras menolak saranku, dengan menyangkal adanya fakta-fakta gaib, kali ini tampaknya sedikit melunak. Walau sejak kedatangannya bersamaan dengan ayah dan para pemuda yang mengawal tersangka, ibu lebih banyak diam, tetapi dari tatapan matanya terlihat jelas betapa beliau tidak lagi sekeras kepala waktu itu.
Pak kades yang terus didesak warga untuk jujur, akhirnya mengatakan bahwa dia memang menyuruh pemuda itu. Saat ditanya apa motifnya, dia mengaku sakit hati, dendam, dan malu, karena aku tega mengatakan di depan seluruh warga desa kalau tidak pernah tertarik apalagi mencintainya. Dia merasa sangat terhina dan dipandang sebagai laki-laki genit selepas kejadian tersebut. Tentu saja aku ingat pernyataan itu, saat mengintrogasi sekretaris desa, Soraya.
"Seandainya aku berbohong mengatakan bahwa mencintai Pak Kades bukankah itu akan lebih menyakitkan?" tanyaku, nyaris berteriak, tanpa peduli bagaimana pandangan semua orang ke arahku.
Namun Pak Kades tak menjawab, dia hanya tertunduk tanpa berani menatap mataku. Untuk memberi efek jera, kali ini warga sepakat untuk membawanya ke jalur hukum, melaporkan atas dugaan perbuatan tidak menyenangkan. Entah bagaimana nanti hasilnya, yang jelas kita semua telah berusaha.
***
Pada minggu pagi berikutnya aku pun meminta Ilmiyah untuk mengajari cara menanam kemangi. Aku juga menceritakan bagaimana respon menyenangkan teman-teman santriwati begitu mendapatkan kresek besar berisi kemangi. Dia juga ikut tertawa saat aku menceritakan cara makan Nisma yang terlalu bersemangat.
Sore harinya, aku mulai sibuk menggali tanah di halaman belakang pesantren. Berniat untuk mempersiapkan lahan bagi tanaman kemangi. Sejak mendengar penjelasan dari Ilmiyah dan melihat caranya menanam kemangi yang tampak mudah, aku merasa sangat tertarik untuk mencobanya.
Setelah diberi olehnya benih kemangi yang tepat, aku bersemangat untuk mempersiapkan lahan dengan cermat. Langkah pertama adalah mencangkul tanah hingga gembur, lalu membuat bedengan dengan teliti.
"Semangat! Semangat Meidina Azzahra," teriak Nisma sembari memperhatikan dari kejauhan. "Hidup Meidina Azzahra!"
Seketika aku pun melempar segenggam tanah ke arahnya, tetapi tidak mengenainya. "Temen lagi berjuang, bukannya dibantuin!"
Akhirnya Nisma pun menghampiri, walaupun sambil tertawa mengejek. Setelah lahan siap, Nisma mulai membantu saat-saat aku mulai menaburkan biji kemangi dengan hati-hati. Kami kemudian menutupnya dengan lapisan tipis tanah dan menyiraminya dengan air yang telah disiapkan seember. Namun, disiram sedikit-sedikit dengan menggunakan cipratan tangan.
Selama beberapa hari, teman-teman santriwati mulai rajin ikut merawat tanaman kemangi tersebut. Bergantian kami melakukan penyiraman pagi dan sore hari. Aku pun selalu berusaha mengawasi dengan teliti, demi menghindarkan tanaman dari serangan gulma dan penyakit. Tak ketinggalan juga melakukan pemangkasan bunga secara rutin, supaya tanaman kemanginya tumbuh lebih cepat. Kami semua sangat antusias melihat kemajuan tanaman yang dirawat dengan penuh kasih sayang.
"Kemangi, yang kami rawat seperti adik sendiri. Hahaha...." Kami sering bercanda memodifikasi iklan kecap di layar kaca.
Beberapa minggu kemudian, tanaman kemangi kami mulai tumbuh subur. Dedaunannya yang hijau segar membuat halaman belakang asrama santriwati semakin indah. Kami semua merasa bersyukur dan bangga mampu menanam dan memelihara pohon kemangi bersama-sama di halaman belakang pesantren. Kami bahkan sudah berdebat tentang hidangan lezat apa yang pertama kali dibuat menggunakan kemangi hasil panen bersama.