Aku duduk di ruang tamu, menunggu ditemui oleh Bu Nyai. Ayah duduk di sebelahku, memberikan dukungan dan ketenangan. Ketika Bu Nyai tiba, aku menyambutnya dengan senyuman dan bersalaman. Sementara Ayah hanya menangkupkan kedua tangan di dada dan mengangguk sebagai tanda hormat. Kemudian kami saling berbasa-basi singkat.
"Bu Nyai," Aku mulai membuka pembicaraan yang lebih serius, dengan suara sedikit bergetar. "Saya sudah memutuskan untuk menerima tawaran perjodohan yang Bu Nyai berikan."
Bu Nyai dan Ayah sama-sama menatap ke arahku, seolah memastikan adanya keteguhan hati yang terpancar dari ekspresi wajah.
"Kami sangat menghargai keputusanmu, Nak," sambut Bu Nyai dengan lembut. "Dan kami yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi kita semua."
Aku merasa lega mendengar kata-kata tersebut. Meskipun hati ini masih terasa berat, aku merasa jika telah mengambil langkah yang tepat untuk masa depan.
Setelah berbasa-basi sejenak, saling menanyakan kabar dan berbagi cerita ringan, aku dan Ayah kembali pulang dengan hati yang terasa lapang. Meskipun masih ada perasaan kebimbangan, aku yakin bahwa akan sanggup terus melangkah maju dengan menanamkan keikhlasan. Asalkan selalu percaya, pada takdir yang telah Allah tentukan, semuanya akan baik-baik saja.
***
Seminggu kemudian, aku duduk di tengah-tengah antara Aya dan Ibu, tepat berhadapan dengan Bu Nyai dan Kiai Utsman. Mereka menyambut kami dengan senyuman ramah. Hatiku tiba-tiba berdebar kencang saat Bu Nyai membuka pembicaraan.
"Meidina, kamu sudah siap untuk bertemu dengan calon suamimu?" tanya Bu Nyai dengan lembut.
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri sebaik mungkin, dengan sigap Ibu langsung menggenggam tanganku. "Inggih, Bu Nyai," jawabku dengan suara yang bergetar sedikit.
Tanpa menunggu lama, pintu terbuka dan seorang pria masuk ke dalam ruangan. Aku menoleh dan jantung ini rasanya hampir copot saat melihat wajah pria itu. Dia adalah Gus Azka, lelaki yang selama ini mengisi relung hati.
Namun, sebelum aku sempat bereaksi apapun, Kiai Utsman menjelaskan dengan tenang, "Meidina, aku ingin kamu berjodoh dengan anakku, Azka Azzam Rasyid. Azka kehilangan ibunya setelah dilahirkan, dan Bu Nyai Lutfia, yang merupakan adik dari almarhumah, menggantikan posisi ibunya sebagai ibu sambung."
Aku terdiam, mencerna informasi itu dengan pelan. Perasaanku campur aduk, tetapi tiba-tiba hadir kelegaan dan kebahagiaan yang mendalam, saat aku menyadari bahwa Gus Azka adalah lelaki yang akan menjadi suamiku.
***
Pada suatu hari yang dinanti-nantikan, tiba saatnya untuk melangsungkan akad nikah antara aku dan Gus Azka. Proses ijab kabul dijalani sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan dalam agama dan tradisi setempat yang berlaku.
Berbeda dengan tradisi pernikahan yang umum di masyarakat Indonesia, di Pasuruan, sepasang mempelai belum boleh bertemu sebelum ijab kabul dinyatakan sah. Sehingga di ruang yang telah disediakan, hanya dihadiri sang mempelai pria yaitu Gus Azka dan wali nikah, yang merupakan perwakilan dari pihak perempuan, yaitu Ayahku. Kedua belah pihak juga didampingi oleh saksi-saksi yang menyaksikan jalannya proses akad tersebut. Sementara mempelai wanita berada di kamar pengantin, menunggu diresmikannya ijab kabul.
Dadaku berdebar saat mendengar suara Ayah dari pengeras suara, "Saudara Azka Azzam Rasyid bin Kyai Utsman Abbas saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan pinanganmu, putriku Meidina Azzahra dengan mahar seperangkat alat sholat, dibayar tunai."
Ibu yang duduk di sampingku, memeluk bahuku. Seolah menyalurkan kekuatan. Tiba-tiba aku menitikkan air mata bahagia.