"Ibuuuuuuuuuu!!" Rumi berteriak mencari ibunya dan meninggalkan laptopnya di kamar.
Rumi baru saja memperoleh notifikasi dari salah satu universitas yang dia pilih. Dia diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) dan bukan jalur tes. Tentu saja dia berteriak, bahkan tubuhnya ikut gemetar. Sebelumnya dia tidak pernah berharap banyak pada jalur seleksi itu, sebab persaingan yang sangat ketat dan diikuti oleh seluruh siswa secara nasional. Bahkan jumlah peminat dan kuota penerimaan pada jurusan yang dia pilih pun sangat tidak sebanding. Nyalinya menciut, namun Tuhan selalu memberinya hal-hal menakjubkan.
For your information, Rumi masih memakai seragam sekolahnya karena satu jam yang lalu dia baru pulang dari sekolah untuk mengambil transkrip nilai ujian nasional dan juga menyelesaikan tanggungan sekolah berupa pinjaman buku perpustakaan. Banyak sekali administrasi yang harus dia selesaikan.
"Ibu di dapuuur." sahut ibu Rumi membalas teriakkannya.
Rumi pun berhambur memeluk ibunya, "Bu, bu, hiks.." ucapnya tersedu.
"Ada apaa? Kenapa?" Jawab Ibu menatap dirinya dengan raut khawatir. Bagaimana tidak khawatir tiba-tiba melihat anak gadisnya menangis seperti itu.
"Aku diterima di Universitas Negeri bu, di Jember bu, hiks.." Rumi menjawabnya sambil menangis karena haru, dia masih tidak percaya dengan dirinya sendiri.
"Alhamdulillaaahhh!!" sang Ibu pun langsung memeluknya dan membawanya berjalan ke kamar. Mereka meninggalkan pekerjaannya di dapur.
Bukan hanya bahagia yang dirasakannya tetapi juga rasa bingung yang menyelimuti hatinya kala itu. Apa yang akan dia lakukan setelah ini. Apakah ini pilihan yang tepat untuk masa depannya.
"Wahh ada apa ini kok rame-rame?" tiba-tiba ayah Rumi muncul dari taman sebelah biliknya.
"Ini loh Yah, Rumi diterima di perguruan tinggi negeri!" jawab ibunya antusias dan mengusap kepala Rumi yang masih tertutup kerudung.
"Waahhh anak ayah emang pintar! Jadi di Jember atau Surabaya?" Ayah merapikan perkakas kebun dan meninggalkannya, beralih menuju ke kamar anak gadisnya.
"Jember, Yah." jawab Rumi sedikit ragu.
"Apa ndak bisa nduk kalo ditukar Surabaya aja?" jawab ayahnya terlihat sedikit lesu, mungkin efek berkebun sejak pagi tadi.
Ibu menyela ucapan Ayah, "Ya ndak bisa toh, Yah." sedangkan Rumi hanya menundukkan kepala. Dia tau bahwa Ayahnya tidak akan setuju jika dia pergi jauh dari rumah.
"Tapi Jember itu jauh, loh, Bu. Apa Rumi bisa hidup sendirian disana nanti?" seru sang Ayah. Selama ini, Rumi memang selalu diawasi kedua orang tuanya, bepergian saja dia harus ditemani oleh Ayahnya. Wajar jika Ayahnya kini meragu.
"Bisa Yah, Rumi pasti bisa!" jawab Rumi makin tersedu.
"Ikut tes yang lain gak bisa?"
"Tidak, Yah. Semua tanggalnya sama, Yah, bareng sama daftar ulangnya aku." ujar Rumi berusaha meyakinkan Ayahnya.
"Sudahlah Yah kita doakan saja yang terbaik buat anak kita ini." sela Ibu Rumi.
Ayah Rumi tampak menghembuskan napas cukup berat, "Yasudah Bu, Nak, Ayah cuma bisa mendoakan."
"Siapp Ibuu, Ayaahh." Jawabnya dengan mata berbinar dan kemudian memeluk kedua orang yang disayanginya itu, "Setelah ini aku harus mengurus surat-surat yang dibutuhkan sebagai persyaratan daftar ulangnya ya!"
Sisi lain dari keputusan ini adalah bahwa sejak Rumi terluka oleh seorang yang telah dia percayai bertahun-tahun, dia pernah bertekad ingin pergi jauh dari kota yang dia singgahi saat ini. Luka-lah yang memperkuat tekadnya meskipun dia tidak yakin mampu melupakan semuanya. Setidaknya, apabila berada di kota yang berbeda, mungkin, dia tidak perlu lagi bersusah payah menahan diri untuk tidak bertemu dengan sosok itu lagi. Kali ini, Tuhan sepertinya sedang berpihak padanya. Dia diterima di perguruan tinggi negeri yang sama sekali tidak masuk dalam daftar impiannya sejak dulu. Sejak kecil dia selalu memimpikan menjadi seperti ibunya, seorang guru. Ternyata takdir Tuhan membawanya jauh dari itu. Dia harus melanjutkan pendidikan di bidang non-pendidikan. Rumi bisa menerimanya, sebab dia yakin manusia memang harus selalu berbaik sangka pada Tuhan. Dia tetap percaya apa yang Tuhan berikan padanya tentu yang terbaik.
Ia membaringkan tubuhnya diatas kasur dengan memeluk boneka hellokitty kesayangannya. Rumi sangat menyukai kamarnya yang didominasi oleh warna pink dan beberapa benda bermotif hellokitty. Dia rajin mengoleksi semua hal yang berbau hellokitty. Matanya menatap langit-langit kamar dan menerawang jauh mengingat segala kenangannya disini, bersama keluarga, sahabat selama masa putih abu-abu, dan juga Dia. Dia kembali mengingat dan merenung, akankah dia mampu meninggalkan semua kenangan manisnya itu.