Bincang Pengasuhan

Mizan Publika
Chapter #1

Naik Roller Coaster Bersama Remaja

13 Juga bisa berlapang dada menerima kelebihan, kekurangan suami & anak tanpa syarat.

Terima kasih duo cikgu, mahmud admin @Suci Shofia & bunda- bunda smart atas sharing ilmu & pengalamannya di sini (Aning, ibu 2 anak) Bacaan bermanfaat kayak gini harus diresapi kata-per-kata.

Saya mencari suasana tenang untuk melakukannya. Dengan begitu kalau kadang kelepasan marah pada anak, kesel ama pak su bisa kontrol emosi. Oh iya kulwap materi ini langsung “ting” di kepala. (Yorinda Navliani, ibu 2 anak) Materi-materinya sering pas dengan kebutuhan dan sangat aplikatif. (Dedeh Sri Ulfah, IRT, penulis, pebisnis)

14 1 Naik Roller Coaster Bersama Remaja Banyak orang tua mengaku kehilangan rasa percaya diri begitu anak-anak beranjak remaja. Ketika anak masih kecil, kita adalah orang tua yang mesra, penuh kasih, suka memeluk, suka bercanda, dan menjadi idola anak. Tapi, begitu anak mulai belasan tahun, rasanya kehangatan itu berangsur hilang. Anak tak lagi suka dipeluk—apalagi di depan umum.

Dia tak mau diajak berbincang lama-lama, lebih memilih bercanda dengan teman-temannya, dan cenderung mudah tersinggung, “Susah, deh, bicara sama Bapak. Beneran aku nggak gitu. Ibu nggak mau ngerti aku, sih!” Kita sudah berusaha mengerti perasaannya, membaca bahasa tubuhnya, menyesuaikan diri dengan dunianya, menerima teman-temannya, tapi selalu saja ada yang meleset. Kita sudah merasa banyak mengalah, merasa banyak diam, tapi dia merasa bahwa ayah ibunya tidak cukup mau mengerti.

15 Yang jelas, ada saja celah untuk konflik, kadang karena hal-hal sepele.

Pada usia belasan, anak mulai punya keinginan yang kuat untuk menjadi “diri sendiri,” padahal dia sendiri belum yakin dengan dirinya. Konflik remaja dan orang tua mungkin masih berputar di seputar tugas sekolah, pekerjaan rumah, cara dia bersikap atau berbicara.

Bagi orang tua, dia masih anak-anak. Di sisi lain, remaja mulai ingin diakui bahwa dia sudah bukan anak-anak—tapi dia pun belum siap dengan tanggung jawab sebagai orang dewasa.

Galau, kan? Gesekan mulai muncul biasanya ketika remaja minta izin menginap di rumah teman. Orang tua menjelaskan banyak pertimbangan mengapa sebaiknya dia tidak menginap, apalagi jika orang tua temannya sedang tidak di rumah.

Bagi remaja, kekhawatiran orang tuanya bisa diartikan sebagai sikap tidak percaya atau curiga. Perhatian yang diberikan orang tua seperti “Sudah mandi? Semua buku sudah dibawa? Alarm sudah dipasang?” sekarang terdengar seperti ungkapan “Kamu harus selalu diingatkan karena kamu masih kecil.”

16 Bedanya, jika yang bertanya tentang hal-hal kecil itu adalah teman-temannya, dia merasa enjoy saja, bahkan merasa diperhatikan. Tapi begitu hal yang sama ditanyakan oleh orang tuanya, dia merasa kedewasaannya diragukan.

Tenang saja.“Perang” jenis ini tidak berbahaya, asal manajemennya benar. Baik orang tua maupun anak remajanya sebetulnya saling sayang. Kedua pihak hanya sedang berjuang menemukan cara baru untuk mengungkapkannya.

Mengalami konflik dengan remaja tidak selalu berarti hubungan kita dengannya buruk. Justru, komunikasi yang sehat adalah ketika orang tua dan anak saling merasa nyaman menyampaikan isi hati, baik yang manis atau yang pedas.

Apa pun konflik yang bisa terjadi, anak harus tahu bahwa dia tetap harus menghormati orang tua. Ketika menyatakan ketidaksetujuannya dengan pendapat orang tua, sikapnya harus tetap santun. Pilihan katanya wajib tetap sopan.

Sebaliknya, orang tua juga sudah saatnya memberikan ruang bagi anak untuk menjadi dirinya sendiri.

Jadikan konflik ini sebagai teladan bagi anak, bahwa orang tuanya adalah teman berdebat yang fair, layak dihargai dan tetap dicintai. Awali dengan berusaha memahami dia, maka

17 dia pun akan memahami kita. Memang mudah diucapkan tidak mudah dilakukan. Tapi, itulah barangkali pilihan terbaik yang kita punya.

Mungkin materi di atas masih bersifat umum, pertanyaan dan komentar Bapak Ibu akan membuatnya spesifik dan mendalam.

Mari kita bahas bersama. Artikel ini diambil dari buku Parenting with Heart.

Kulwap ini adalah diskusi atas buku Parenting with Heart dan Marriage with Heart karya Elia Daryati dan Anna Farida. Miliki bukunya segera.

Salam takzim, Anna Farida

18 Pertanyaan-1 Saya punya adik remaja (16 tahun), pola asuh ibu dan ayah bertentangan. Ibu cenderung membela/menuruti segala keinginannya. Apakah karena anak bungsu si ibu cenderung memanjakan si anak? Apakah dampak bagi anak jika diperlakukan demikian? Jawaban Bu Elia: Pola asuh adalah pola interaksi yang terbangun antara orang tua-anak. Pola asuh yang berbeda antara ayah dan ibu akan menimbulkan sikap mendua pada anak (ambigu).

Pola asuh yang didominasi gaya permisif ditandai dengan orang tua yang memberikan “kasih sayang” berlebihan. Efeknya, anak jadi impulsif, manja, tidak patuh, kurang mandiri, kurang matang secara sosial.

Jawaban Anna Farida: Saya akan lihat dari sisi pola asuh yang berbeda antara ayah dan ibu.

Aku sayang Ayah, aku sayang Bunda. Kalau Ayah dan Bunda beda pendapat, aku kudu pilih siapa?

19 Anak yang masih kecil akan bingung mengambil sikap, anak remaja akan berpikir lebih kritis. Ayah Bunda ini sudah dewasa, tapi ambil kata sepakat di antara mereka saja tak bisa. Aku pilih yang paling menguntungkan saja buatku, deh. Atau, aku ambil keputusan sendiri—aku juga berhak, kan, beda pendapat seperti mereka.

Suami istri beda pendapat kan wajar banget. Kalau sama melulu malah rada ngeri (menurut saya, sih, huehehe). Walaupun begitu, jika sampai pada keputusan tentang anak, sebaiknya selesaikan dulu antara suami istri. Sepakati keputusannya, salah satu mendukung yang lain, atau bahkan abstain.

Misalnya: Anak lelaki, 15 tahun, pingin ke Jakarta bareng teman- temannya naik kereta. Tujuan mereka adalah rumah kakek salah satu teman. Diizinkan atau tidak? Setelah memastikan bahwa keluarga yang akan dikunjungi itu aman, masih saja ada keraguan antara ayah dan ibu. Nah, di titik ini, jangan pernah ribut di depan anak. Selesaikan intern, pakai japri! Sepakati berdua. Jika kepepet tidak bisa sepakat, ayah bisa memutuskan untuk abstain dan mendukung keputusan ibu,

20 kemudian menjadikannya keputusan berdua. Ingat, komit, ya. Seandainya terjadi hal yang kurang diharapkan (semoga semua baik-baik), jangan saling menyalahkan. Apa pun akibat keputusan itu, anak kan tetap milik berdua, tanggung jawab punya berdua, dong.

Ayah dan Ibu yang satu suara meneguhkan kepercayaan diri pada remaja, sekaligus keyakinan mereka bahwa orang tua ini bisa diandalkan, nih. Aku tanya mereka kompak, aku bener mereka mengapresiasi, aku salah mereka ikut tanggung jawab. Mereka melakukannya karena mencintai aku, dan aku akan mengembalikan cinta itu sebisaku. Anak remaja sudah mulai mikir ke situ.

 Pertanyaan-2 Putri saya kelas 1 SMA. Saya ingin memberikan seks education untuk dia. Bagaimanakah cara yang tepat untuk menyampaikannya? Jawaban Bu Elia: Pendidikan seks sebaiknya diberikan jauh sebelum anak baligh.

Namun tak ada kata terlambat. Harus dibedakan antara seks dan seksualitas.

21 Seks adalah segala sesuatu yang menyangkut kelamin dan hubungan kelamin.

Seksualitas adalah sesuatu yang menyangkut cara berpikir, cara berpakaian, mengutarakan pendapat dan bersikap.

Kedua hal ini perlu diajarkan kepada anak agar mereka tumbuh menjadi perempuan dan lelaki sesuai perannya dan mampu menjaga dirinya.

Jawaban Anna Farida: Sejak sebelum baligh, pastikan anak memperoleh pendidikan seks yang benar. Untuk anak remaja, sebenarnya zaman sekarang memberikan banyak kemudahan. Kita bisa masuk ke diskusi tentang seks dan seksualitas dari pintu mana saja (seperti pintu Doraemon).

Perhatikan berita di media massa, banyak yang bisa dijadikan bahan diskusi. Misalnya kasus pelecehan seksual seorang dosen pada mahasiswinya. Setelah mahasiswi hamil dan ketahuan, aktivis perempuan berdemo menuntut si dosen.

Coba ajak anak melihat dari sisi lain: Mengapa mahasiswi yang sudah remaja atau bahkan dewasa bisa berkunjung ke rumah dosen lelaki sendirian? Bukankah itu tindakan berisiko? Adakah

22 cara yang lebih aman? Anak kelas 1 SMA biasanya sudah menstruasi, bentuk badannya sudah terlihat, sudah saatnya diberi perhatian lebih. Ajak dia menghargai dirinya sendiri dengan berpakaian yang layak dan sopan, sesuai keyakinan masing-masing. Saya ini masih muda (ngakunyaaa) tapi cenderung konservatif dalam berpakaian.

Jika saya tidak berkerudung pun, saya akan memilih baju yang relatif aman. Mungkin kebaya—halaaah! Kepada anak-anak saya yang remaja lelaki, saya sampaikan sambil santai bahwa secara fisik mereka sudah siap menjadi ayah. Mereka punya sperma, bisa membuahi sel telur perempuan. Mereka bisa jadi ayah bahkan hanya dalam waktu 3 menit. Mohon maaf, saya cenderung terbuka, sih. Soalnya informasi apa yang bertebaran di luar sana jauh lebih vulgar.

Jadikan seks sebagai bahasan ilmiah dalam keluarga, bahkan ke anak yang kecil, sesuaikan dengan umur.

Btw, anak saya yang 11 tahun tanya gini, “Bu, supaya jadi bayi, kan ini masuk ke sini (dia peragakan pakai jari). Kalau gay gimana? Masuk ke mana?” Nah loh, kira-kira jawaban saya apa? Hehe

23 Pertanyaan-3 Adik ipar saya, dia anak bungsu, sudah jadi mahasiswa baru tahun ini. Sengaja dia dititipkan ke kakaknya, supaya menjadi anak yang ‘bener’.

Karena tingkah lakunya yang suka kabur dari rumah ketika keinginannya tidak dituruti. Biaya hidup selama kabur, dia gadaikan laptop.

Alasan anak tadi, tidak tahan dengar omelan orang tua.

Segala yang dia butuhkan selalu dituruti sama ibunya.

Bahkan ketika si kakak mau meminimalkan uang jajan, ada saja cara si ibu mencari jalan lain supaya anaknya tetap terpenuhi kebutuhan jajannya.

Bagaimana menyampaikan ke anak tersebut supaya menjadi anak yang lebih bertanggungjawab? Anak tersebut tahu betul kalau ibunya tidak tega melihat anaknya kekurangan.

Jawaban Bu Elia: Didikan itu bukan dadakan. Perlu proses. Untuk anak yang sudah dewasa, pengulangan merupakan proses reedukasi.

Demikian pula dalam pembentukan rasa tanggung jawab.

24 Harus dilakukan komitmen bersama untuk pembentukan kebiasaan baru.

Syaratnya anak setuju dan orang tua siap, karena tak mudah mengubah pribadi yang sudah terbentuk. Jika bukan dari kesadaran diri anak itu sendiri, yang diperlukan adalah orang tua yang memiliki kekuatan inspirasi.

Jawaban Anna Farida: Tidak ada yang namanya terlambat. Saya pernah membaca sebuah kisah seorang anak yang dianggap “madesu (masa depan suram)”. Pokoknya tiada harapan, deh. Setelah berbagai upaya pendidikan dilakukan orang tua dan gagal, anak itu dibuang ke laut.

Maksudnyaaaa Orang tuanya mengeluarkan si remaja dari SMA dan membawanya bekerja. Bukan ke tempat yang nyaman, anak itu magang jadi anak buah kapal penangkap ikan. Nggak bisa kabur wong di tengah laut. Remaja itu bertugas menyikat lantai kapal tiap hari. Jika tidak bersih dia tidak dapat uang tidak dapat makan. Pada saat yang sama, si anak melihat ayahnya bekerja sangat keras, tapi tak pernah mengeluh. Endingnya bahagia. Ketika masa magang berlalu si remaja memutuskan

25 untuk tetap bekerja di kapal.

Barangkali, inilah yang disebut Bu Elia sebagai orang tua yang punya kekuatan menginspirasi. Jadi bukan hanya membanjiri anak dengan nasihat dan omelan, tapi menjadi teladan.

Huaaa, lancar banget nulisnya, seret juga ngejalaninnya #tutupmuka Pertanyaan- 4 Bagaimana caranya agar kepercayaan yang kita berikan ke anak remaja tidak disalahgunakan oleh mereka? Jawaban Bu Elia Remaja akan merasa dirinya berharga jika dipercaya. Sikap saling percaya antara anak dan orang tua adalah modal dasar dalam berinteraksi. Adalah bijaksana juga jika orang tua tidak menggeneralisir sebuah perilaku. Ketika sesekali remaja berbuat kesalahan, berdamai dengan mereka akan membuat mereka percaya diri, pada akhirnya mereka akan bisa mengontrol diri sendiri.

26 Jawaban Anna Farida: Ada komitmen untuk saling kontrol. Sampaikan pada remaja bahwa manusia punya kecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Kepercayaan yang diberikan dengan niat baik dari orang tua mesti dihargai dengan tanggung jawab. Salah satu bentuk tanggung jawab adalah komitmen untuk bersedia saling kontrol antara orang tua dan anak. Kalau tidak ada kontrol bukan kepercayaan, dong, tapi pembiaran, pengabaian.

Contoh, anak diberi kepercayaan untuk punya gadget sendiri.

Wujud tanggung jawabnya adalah password yang diketahui orang tua—saya tahu password anak-anak, dan mereka akan mau ngasih tahu, tapi saya jarang juga bukain gadget mereka. Mending buka gadget saya sendiri, laah, ahahah— maaf, menyesatkan. Maksudnya dengan mereka mengizinkan kita pakai hape atau laptop mereka tanpa mereka enggan, itu pertanda baik. Kalau adaaa saja alasan untuk menolak, nah, perlu waspada. Eng ing eeeng, menyembunyikan apa dia di sana.

Balik ke topik.

Yang paling penting adalah membuat kesepakatan sejak awal. Kepercayaannya di dalam hal apa, komitmennya apa,

27 bagaimana jika terjadi pelanggaran—apa konsekuensinya. Jadi sejak awal sudah ada dulu. Bukan ketika terjadi masalah dulu baru orang tua menjatuhkan hukuman.

Jika terjadi pelanggaran, jangan melulu menyalahkan. Koreksi bersama, mulai lagi dari awal. Salah lagi? Mulai lagi. Lagi. Lagi.

Start, restart. Start, restart. I will never give up on you. Bapak Ibu akan terus percaya padamu. Semampu kami – kok suasana hati saya jadi mellow, ya? Pertanyaan-5 Apa saja kiat agar si ABG tetap merasa nyaman dengan kita, orang tuanya. Supaya tetap senyaman waktu dia masih kecil, santai kalau mau curhat.

Jawaban Bu Elia: Jadikan mereka sebagai teman. Yakinkan mereka bahwa “diriku juga penting”. Dengan demikian, terciptalah iklim psikologis yang nyaman bagi semua pihak.

Lihat selengkapnya