Salam sehati, Bapak Ibu.
Mari masuk ke topik minggu ini, komunikasi asertif.
Saya tidak begitu suka definisi, seperti soal ujian esai SMP saja, hehe. Jadi, saya akan sampaikan beberapa kasus sederhana, nanti definisikan masing-masing, apa itu komunikasi asertif.
Anda bergabung atau dimasukkan tanpa izin ke dalam sebuah grup WA. Anda sudah kebanyakan grup, topik yang dibahas tidak sesuai dengan minat, atau hape Anda nge-hang atau nge-drop melulu. Anda ingin sekali keluar tapi rikuh. Kan yang masukin teman baik, sebagian anggota grup juga teman- teman dekat. Jadi di satu sisi kita menderita batin (halah banget, grup WA kok jadi sumber derita) di sisi lain kita ingin menjaga perasaan teman.
Saya bisa keluar dengan berkata seperti ini, “Teman-teman, hape saya mulai nge-hang, nih. Tampaknya dia tidak sanggup mengejar diskusi yang aktif di grup kita ini. Saya pamit keluar group dulu, ya. Informasi dan foto penting sudah saya simpan, begitu siap bergabung lagi, saya akan kontak admin. Tengkyu banget sudah ngasih banyak wawasan, maaf jika ada salah kata, salahkan jempol saya yang besar ini. Salaaam …
Atau dalam kasus lain, ada teman jualan baju dan menawarkan desain yang menurut Anda tidak menarik.
Jawab begini, “Saya lebih suka baju yang polos, tidak banyak lipatan.”
Perhatikan. Saya tidak tidak menjelekkan grup WA itu, tidak mencela desain baju, tapi juga bisa keluar dari grup yang tidak saya perlukan dan tidak perlu beli baju yang tidak cocok.
Anak merajuk minta hape baru.
“Saat ini anggaran keluarga kita adalah melunasi uang sekolahmu. Ibu/Ayah akan berusaha jika memang hape baru kamu perlukan, dan anggarannya ada. Oke?”
Saya tidak mencela keinginan anak pingin hape dan menasihatinya dengan berbagai wejangan tentang hidup hemat dan sabar.
Suami merokok di rumah yang sempit.
“Mas, rumah kita kan kecil. Biar terkesan luas udaranya bisa dijaga biar tetap segar. Aku juga lebih nyaman kalau baju dan perabotan rumah kita fresh.”
Cukup.
“Eh, asyik, habis mandi!” ––nempel-nempel sedikit boleh, ehm— “Mas harum dan segar kalau habis mandi. Aku suka aromanya.”
Cukup. Tidak perlu ceramah tentang rokok.
Beda dengan “Mas, kenapa sih, merokok melulu. Sama saja dengan bakar uang, kan?” Atau … “Mas kapan mau berhenti merokok?”
Sampaikan pandangan Anda secara positif, tanpa menyerang lawan bicara. Istilah kerennya I-message. Pesan saya, pandangan saya.
Sampaikan dengan nada bicara yang netral, bahasa tubuh yang rileks, sampaikan sekali saja. 3 menit cukup (maaf, ini ukuran pribadi saya. Lebih dari itu biasanya saya tergoda untuk ngomel. Jadinya komunikasi agresif, bukan asertif lagi, dwong!)
Boleh diulang di waktu yang pas. Mau tahu kapan waktu yang pas? Saat Anda bisa menyampaikan I-message dengan hati yang ringan, dan hasilnya lawan bicara tidak jadi tersinggung. Perhatikan kapan waktu yang pas bagi lawan bicara. Kalau gagal sekali ya coba lagi dan lagi dan lagi Start and restart.
Kan tidak bisa instan.
Menurut saya, kekuatan lain dari komunikasi ini adalah aspek “minta maaf ” yang terkandung di dalamnya.
Melalui komunikasi ini kita seolah bilang begini, “Maaf, mungkin pendapat saya tidak sesuai dengan kehendakmu.” It’s about me, not you. Ini tentang saya, bukan kamu. Lidah saya saja yang kurang suka pedas, bukan karena masakanmu tidak enak, misalnya.
Walaupun sebenarnya kamu juga yang jadi sasaran tembak saya huehehehe
Dengan cara ini, lawan bicara tidak merasa disalahkan, dihakimi. Secara tidak langsung, lawan bicara dikondisikan untuk mengerti kita, memahami pendapat kita, dan ini mendatangkan perasaan positif dalam dirinya. Kuncinya adalah tidak diminta secara langsung, tapi dengan I-message tadi.
Bukan dengan berkata, “Ngertiin aku, dong!” melainkan “Aku ingin begini, pendapatku begitu”.
Kita akan lebih mudah memahaminya dengan praktik langsung per kasus.
Mari kita mulai rumpi. Semoga pertanyaan bisa masuk sebelum Sabtu, jadi waktu menjawab pun lebih leluasa. Sip?
Kulwap ini adalah diskusi atas buku Parenting with Heart dan Marriage with Heart karya Elia Daryati dan Anna Farida.
Pastikan Anda memiliki bukunya.
Salam takzim,
Anna Farida
Pertanyaan-1
Bagaimana menegur suami yang suka merokok di dalam rumah kami yang mungil? Hanya ada ruang tamu dan kamar tidur satu. Dia merokok di ruang tamu. Tapi kalau ada teman sedang main ke rumah bawa anak, dia rela merokok di balkon.
Jawaban Bu Elia Daryati:
Relasi suami istri merupakan relasi yang setara. Artinya, jika pasangan menempati posisi yang setara, akan terbangun saling menghargai satu sama lain. Terkadang kita sendiri merasa sungkan untuk menegur, karena menempatkan diri sebagai orang yang sedikit “takut”. Padahal, jangan-jangan kalau dibiarkan justru suami tidak akan mengerti. Mungkin suami berpikir kita setuju-setuju saja. Atau boleh jadi, kita menegur tidak terlalu menekankan betapa tidak sukanya kita jika harus ikut menghirup asap beracun itu.
Kenapa? Jika ada orang lain, suami sanggup berkorban untuk merokok dan pergi ke balkon. Hal ini menunjukkan bahwa suami mengerti bahwa orang mungkin akan kurang setuju dengan merokok di dalam rumah.
Langkah yang harus dilakukan adalah menyampaikan dengan jujur bahwa Ibu tidak setuju atas sikap suami yang sering merokok di dalam rumah. Meminta pengertian dari suami, atas keberatan yang Ibu sampaikan.
Namun harus dilihat, waktu yang pas untuk menyampaikan. Bukan ketika suami sedang merokok, karena dia sedang dalam kondisi adiksi dan bisa menjadi lebih sensitif ketika diingatkan.
Dicari waktu dialog ketika sedang santai, disampaikan dengan cara yang santun. Tegas dan kasar merupakan hal yang berbeda. Suami yang baik dan menyayangi keluarga, pastinya akan sangat memahami hal ini. Masa pada orang lain paham, sama keluarga sendiri kurang paham?
Untuk itu, ayo kapan akan dimulai? Bismillah, saya yakin Ibu bisa!
Jawaban Anna Farida
Dalam materi saya sudah bahas sepintas. Pertanyaan: yang mau dihilangkan kebiasaan merokok di dalam rumah atau kebiasaan merokoknya? Jika kebiasaan merokoknya, I-message yang disampaikan adalah “Aku senang deket-deket ketika Mas dalam kondisi segar.
Aku siapin baju ganti, ya, sebelum tidur. Aku bahagia banget kalau Mas bisa ngurangi rokok. Kalau berhenti? Wah, aku bakal nyemplung kolam ikan pakai kebaya” —– awas, ya, buktikan! Artinya aroma humor pun perlu diselipkan, supaya situasi tidak jadi tegang. Pesan tentang harapan Anda agar suami berhenti merokok tersampaikan, dan Anda bisa tetap tertawa bersama.
Pertanyaan-2
Suami saya orangnya tipe plegmatis. Selalu ingin menyenangkan orang lain dan menghindari konflik. Kalau saya tanya pendapatnya sering kali bilang terserah, gimana baiknya aja sambil tersenyum. Nah, masalahnya, kalau ada masalah belakangan ia jadi menyalahkan saya. Akhirnya, karena sering terjadi, saya jadi suka ragu ngambil keputusan. Sebenarnya dia tuh setuju betulan atau nggak?
Jawaban Bu Elia Daryati
Suami istri, biasanya merupakan pasangan yang sifatnya komplementer. Seperti saling berseberangan, dimaksudkan untuk saling menggenapkan. Yang rapi dengan yang berantakan, yang boros denga yang sedikit irit, yang ramah dengan yang serius, atau yang nggak enakan dengan yang lebih tegas. Pasti dipasangkan tanpa maksud, selain untuk saling menggenapkan satu sama lain.
Boleh jadi, jika suami ibu tipe plegmatis, mereka umumnya baik hati, pribadinya tenang, rendah hati, dan juga penyabar, terlihat kalem. Mungkin akan cocok dengan tipe koleris, tipe ini biasanya suka mengatur dan memerintah orang, dia nggak mau ada orang berdiam diri saja sementara dia sibuk kerja/ beraktivitas. Orang koleris suka akan tantangan, sangat suka bertualang, mereka juga tegas. Tak heran banyak dari usahanya yang sukses karena memang sifatnya yang juga pantang menyerah dan juga pantang mengalah.
Menyikapi suami yang tipe seperti ini, dalam menghadapi persoalan adalah dengan cara membicarakan dari awal untuk menyelesaikan persoalan. Istilah populernya, pahit-pahitnya dibicarakan dari awal, konsekuensi dan risiko-risikonya disampaikan sejak awal. Selanjutnya diskusikan. Untuk tipe yang kurang asertif, memang harus sedikit ada “paksaan” yang cantik, yang membuat mereka bertindak lebih tegas.
Jangan menyerah Ibu, tetaplah percaya diri, dan sadari bahwa ibu memang dipasangkan untuk dia.
Jawaban Anna Farida Konfirmasi:
Suami saya selalu ingin menyenangkan orang lain … kalau ada masalah ia jadi menyalahkan saya —- ini kontradiktif, lho. #provokator, abaikan ahahah.