Salam, Bapak Ibu.
Kulwap hari ini akan kita isi dengan materi TTM alias Teman Tapi Mesra. Belakangan muncul istilah Sebastian—Sebatas Teman Tapi Perhatian #halah
Dalam buku “Marriage with Heart”, Bu Elia dan saya membahas tema ini dalam beberapa bagian, karena TTM ini hadir dalam keseharian dalam bentuk yang berbagai macam. Saya nukilkan sebagian isi bukunya, ya.
Singkatnya, kata “mesra” dalam istilah TTM benar-benar ada dan dilakukan oleh pelakunya. Memang, kadar mesranya tidak seperti pasangan kekasih atau suami istri, tapi perhatian yang saling diberikan cenderung menjurus pada hal-hal pribadi.
Misalnya ada teman (lawan jenis) yang sedang sakit, kita bisa mengucapkan “Semoga cepat sembuh” kepadanya. Coba perhatikan SMS seperti ini, “Kalau dekat sih kumasakin bubur.
Besok masuk kerja? Mau dibawain apa?” Lantas teman yang sakit itu membalas, “Iya, nih. Bubur buatanmu pasti enak.
Besok masuk. Kalau ketemu kamu pasti sembuh.” Kadar kedekatan seperti ini jelas lebih dari teman, tapi yang bersangkutan tak hendak disebut pacaran. Kan keduanya sudah punya pasangan.
Saat ada orang meledek kedekatan mereka, terdengarlah jawaban spontan “cuma teman, hanya sahabat”. Mereka beralasan bahwa kedekatan mereka terjadi semata-mata karena punya hobi sama, punya pandangan sama sehingga nyambung ketika ngobrol, atau sekadar iseng untuk membuat hidup lebih berwarna.
Innalillahi … Warna apa sih yang ingin dihasilkan dari TTM?
Ada sebuah ungkapan yang menyebutkan bahwa bersahabat dengan lawan jenis itu seperti jatuh cinta sedikit. Anda pernah dengar? Masing-masing punya pasangan, apalagi keduanya sedang terlibat dalam urusan pekerjaan yang sama, sehingga orang lain tak curiga. Karenanya, kontrol jadi lemah. Bisa saja keduanya berdalih tidak berniat macam-macam atau tetap tahu batas, tapi yang namanya niat kadang tinggal niat. Yang terjadi berikutnya tak pernah bisa diprediksi. Dalam posisi ini, keduanya sedang mempertaruhkan pernikahan di atas hubungan yang salah. Sebut saya kuno, tapi saya tidak percaya ada lelaki dan perempuan bisa bersahabat dekat tanpa jatuh cinta—setidaknya sedikit.
Mau curhat? Mengapa harus curhat ke lawan jenis? Ikatan emosional yang terbangun karena curhat pribadi antara sepasang manusia adalah pintu menuju ikatan yang lain. Menjauh dari TTM adalah seni menjaga pernikahan. Banyak orang yang jatuh cinta lagi setelah menikah, tak memandang rentang usia pernikahannya. Tak pilih-pilih juga apakah godaan itu terjadi pada pasutri yang bekerja di luar rumah atau tidak. Yang berpendidikan tinggi atau rendah, berpenghasilan melimpah atau pas-pasan.
Jatuh cinta bisa terjadi pada orang baru, teman lama, atau mantan pacar. Virus ini tersedia gratis untuk publik. Setiap saat kita pun bisa mengalaminya, jadi tak perlu sok aman ketika ada teman yang kena panah asmara TTM. Segera evaluasi diri, siapa tahu ternyata kita pun pelaku. Ketika istri atau suami lebih nyaman berlama-lama ngobrol dengan orang lain, atau diam-diam punya teman “diskusi” yang seru, kesehatan pernikahannya perlu diperiksa ulang.
Cinta adalah energi yang tak pernah hilang. Jika tak terwadahi, dia akan bocor dan merembes ke tempat lain. Dan ketika hal ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Ketika tanpa sadar (atau sadar!) kita punya TTM, bagaimana sebaiknya? Saran saya sederhana: Stop it right now! Hentikan saat ini juga! Sebenarnya, jika kita peka sedikit saja, selalu ada gejala yang terlihat atau terasa saat kita berada pada posisi TTM.
Secara spesifik Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga pandangan—pandangan fisik dan pandangan batin. Ketika dalam hati sudah muncul rasa respek atau rasa kagum kepada seseorang, seharusnya kendali sudah kuat digenggam.
Segera kedepankan nalar sebelum emosi mengambil alih.
Ya, segera. Kita tak pernah tahu kapan fase selanjutnya akan berkembang seperti apa. Perlu dicatat, pasangan TTM ini secara naluriah akan menciptakan aturan-aturan rahasia di antara mereka. Secara psikologis mereka akan lelah karena harus menjaga jarak agar tak jatuh cinta betulan, harus mengendalikan sikap agar tidak menjurus jadi affair sungguhan, tapi juga harus menjaga perasaan pasangan agar tidak terjadi konflik.
Ternyata, walau bukan pasangan kekasih, TTM ini sarat emosi. Saat tak bisa mengendalikan perasaan, cemburu pun terjadi di antara mereka, bahkan cemburu pada pasangan sah masing-masing. Absurd, kan? Karena itu, menjauhkan diri dari berdekatan dengan orang yang bukan mahram adalah tindakan jaga-jaga yang sangat mendasar. Awalnya hanya bahas pekerjaan, lama-lama bahas anak dan pasangan. Berikutnya saling mengeluhkan tabiat pasangan, saling memberi masukan, dan saling menyemangati.
Akhirnya, witing tresna jalaran saka kulina—cinta bersemi karena terbiasa bersama. Artinya, berawal dari TTM, hubungan cinta yang sebenarnya bisa terjalin. Yang tadinya teman bisa menjadi WIL atau PIL—sudah lah. Tiga singkatan itu tidak ada bagus-bagusnya.
Kulwap ini adalah diskusi atas buku Parenting with Heart dan Marriage with Heart karya Elia Daryati dan Anna Farida.
Pastikan Anda memiliki bukunya.
Salam takzim,
Anna Farida
Tanya-1:
Sekarang ini suami punya profesi baru yang mengharuskan sering berinteraksi dengan banyak orang, terutama wanita cantik. Beliau juga jadi banyak ketemu dan hang out dengan grupnya yang kadang-kadang cukup dekat dan kalau dilihat dari berbagai pose fotonya cukup bebas. Saya percaya pada suami, tidak ingin cemburu karena itu tuntutan profesi. Tapi ada rasa khawatir juga. Bagaimana menyiasatinya supaya saya bisa tetap percaya dan tidak cemburu berlebihan. Juga suami tidak terjebak WIL. Terima kasih.
Jawaban Bu Elia Daryati
Jenis pekerjaan yang dijalani seseorang merupakan sebuah pilihan. Setiap jenis pekerjaan tentunya memiliki iklim kerja dan iklim sosial sesuai bidang yang ditekuninya. Seperti lingkungan kerja yang sedang dijalani oleh suami Ibu.
Filosofinya adalah seorang suami memiliki tanggung jawab sebagai pencari nafkah bagi keluarganya. Adapun lingkungan pekerjaan suami Ibu tampaknya memiliki pola interaksi yang agak riskan, khususnya dalam relasi antar lawan jenis.
Menyikapi hal ini, tentunya diperlukan kesadaran kedua belah pihak terhadap kondisi yang ada. Suami dan istri harus memiliki komitmen dan pola komunikasi yang baik.
Jika kesadaran terhadap hal tersebut tidak dijadikan agenda keluarga dan hanya menyerahkan pada perjalanan nasib dan takdir, akan sedikit membahayakan. Kenapa? keteguhan seseorang sifatnya fluktuatif, siapa yang dapat menjaminkan bahwa kita memiliki kekuatan yang sifatnya stabil dalam menghadapi hantaman. Khususnya dalam hal ini hantaman pergaulan.
Pada awalnya mungkin kita merasa jengah dengan situasi pergaulan yang sedikit riskan, namun karena dilakukan setiap hari akan terjadi pembiasaan. Yang sedikit riskan menjadi suatu yang wajar dan batas toleransi menjadi kurang terasa dalam membedakan “batas-batas” antara salah dan benar.
Untuk itu, sekali lagi komitmen dan pola komunikasi harus dijadikan sebagai pijakan. Bukankah nafkah dalam berumah tangga bukan saja sekadar dari banyaknya yang kita dapatkan, namun tentunya ada keberkahan yang kita dapatkan, semata- mata untuk membangun keluarga yang sakinah mawwadah dan rahmah.
Akhirnya semua dikembalikan ke keluarga masing-masing.
Sebuah lingkungan kerja yang berisiko adalah kondisi “daripada-daripada”… jika masih mungkin, alternatif sebuah pekerjaan lain dapat kita pikirkan, jika tidak mungkin, hubungan keluarga yang harus dikuatkan.
Jawaban Anna Farida
Jawaban Bu Elia sudah clear. Saya nambahin saja, ya.
Secara umum, semua pekerjaan punya risiko. Saya penulis, risiko saya terkait dengan kebiasaan duduk lama. Tukang ojek berisiko dipeluk oleh semua jenis manusia dari yang muda merona hingga kakek nenek #apacobamaksudnya.
Nah, risiko berdekatan dengan lawan jenis pun bisa dikelola.
Kita masing-masing punya batas yang berbeda, seperti apa sih yang disebut dengan berdekatan, biasanya terkait dengan keyakinan.
Ada orang yang satu ruang dengan lawan jenis saja sudah disebut berdekatan, ada yang bersentuhan kulit pun berpendapat tidak apa-apa asal tidak ada unsur lain-lain. Jadi rentangnya sangat panjang, dan kita tidak akan bahas perbedaan itu.
Yang perlu dilakukan sebagai istri adalah menempatkan diri pada posisi menjadi mitra suami. Peran mitra adalah ikut menjaga suaminya agar tujuan kemitraan (rumah tangga) tercapai.
Sepakat dengan Bu Elia, komunikasi wajib berjalan lebih efektif karena lingkungan yang mewarnai keseharian suami tadi.
Jika pindah tempat pekerjaan masih belum memungkinkan, Ibu wajib mengingatkan tujuan bahwa suami bekerja demi keluarga. Ini tidak selalu dilakukan dengan mengungkapkan rasa cemas ke suami, apalagi dibumbui pernyataan rasa tidak percaya diri seperti ini “Da aku mah apa atuh, pasti lebih menarik teman-teman kerjamu daripada aku. —> Lah, malah menempatkan diri di posisi tidak berharga. Kalau keseringan diucapkan bisa terjadi beneran, lho! Sebaliknya, istri bisa menempatkan diri sebagai partner yang tidak kalah menarik dari luar maupun dalam. Belajarlah meng- upgrade diri—bukan semata-mata demi suami, melainkan juga demi kebutuhan belajar yang tetap harus dijaga. Ini kan kemestian kita sebagai manusia.
Perhatikan penampilan. Jangan absen mandi dua hari karena suami sedang di luar kota. Lha! Mandi itu kan sehat, wangi itu kan menyenangkan. Bagi orang lain, lebih-lebih bagi diri sendiri. Menghargai diri sendiri itu wajib, sehingga tidak perlu ada rasa cemas melepaskan suami keluar rumah karena dia akan kembali utuh karena kebaikannya, karena dukungan istri, dan penjagaan Allah.
Sesekali kirim-kirim pesan sayang, kirim gambar anak-anak, atau kirim doa itu boleh adanya. Atur saja ritmenya agar suami pun tidak merasa dimata-matai atau dicurigai melulu.
Tanya-2
Assalamu’alaikum,Saya punya tante, baru-baru ini suaminya seorang pejabat daerah kepergok hendak mesum dengan istri orang di sebuah hotel. Usia perempuan tadi seusia anaknya.
Di koran juga di TV lokal sudah memberitakan kabar tersebut.
Seluruh keluarga jelas malu, Tante sendiri bingung mau ngapain. Dia ingin mempertahankan tapi suaminya sudah zina. Apa yang harus Tante saya lakukan? Anak-anaknya pun merasa benci dengan perbuatan ayahnya.
Jawaban Bu Elia Daryati
Menyikapi ketidaksetiaan pasangan merupakan ujian terberat dalam sebuah pernikahan. Opsinya hanya dua, “take it” atau “leave it” Jika memaafkan konsekuensinya apa? Dan jika meninggalkan konsekuensinya apa? Kedua hal ini harus menjadi bahan pertimbangan ketika memutuskan. Tentunya yang paling tahu kekuatan diri, adalah diri masing-masing. Dipikirkan dengan matang sebelum keputusan dilakukan. Harus tenang dan tidak terbawa emosi.
Mengingat hal ini menyangkut anggota keluarga yang lain, khususnya anak-anak. Tentunya perlu dibicarakan secara matang, namun di atas segalanya keputusan istri lah yang paling menentukan. Apa pun keputusannya, jika sudah dilakukan harus siap. Siap memberikan penjelasan dan pengertian pada anak atau pun anggota keluarga yang lain.
Pertanyaannya adalah, apakah peristiwa ini merupakan kejadian pertama kali yang sifatnya kasuistik, atau yang sudah berkali-kali dan menjadi kebiasaan. Jika sudah berkali-kali, tampaknya perlu pertimbangan yang lebih serius, untuk bertanya kembali kepada diri, sesungguhnya kita menikah untuk apa? Apakah untuk sekadar status atau mencari kebahagiaan hakiki. Hanyalah diri yang mampu menjawab.
Mengingat setiap manusia pada dasarnya harus layak bahagia dan merdeka
Jawaban Anna Farida
Ini pertanyaan yang sebenarnya saya hindari, tadinya saya mau kabur saja dan menyerahkan jawaban pada Bu Elia. Tapi, ah, tar dikejar peserta kulwap, jadi saya jawab saja sesuai pendapat pribadi, ya.
It takes two to tango. Membina rumah tangga itu perlu dua orang yang saling berkomitmen. Ketika terjadi musibah, misalnya salah satu berulah, sementara satu orang yang lain kena getah, itu salah satu risiko berumah tangga.