Biner Amethyst

theresna zahra s.
Chapter #1

1

Aster membuka matanya di pagi hari itu. Udara di dekat pantai di daerah Antibes, Perancis, langsung terhirup ke dalam hidung Aster. Ia menatap ke arah bay window di kamarnya yang menampilkan laut berwarna biru yang terlihat sangat indah.

“Jam berapa ini?” Ia bertanya pada dirinya sendiri, menatap jam dinding yang ada di depannya. Jam setengah sembilan… ia berkata pada dirinya sendiri. Ah, liburan musim panas ini membuatnya sangat malas. Ditambah lagi udara pantai yang menyegarkan membuatnya semakin ingin tak melakukan apa-apa, hanya berbaring di ranjangnya

 Jika ditanya mengapa dirinya bernama Aster, maka Aster sendiri tidak tahu. Yang ia tahu, bunga aster adalah lambang dari kesabaran, keanggunan, lembut, hal-hal seperti itu, dan Aster adalah kebalikan dari semua itu. Tentu Aster menyukai gaun, menari ballet, namun yang pasti, ia bukanlah seseorang yang sabar. Juga bukan seseorang yang lembut, ia cenderung dingin dan kaku. Lebih suka menelusuri pantai dan gang-gang kecil di Antibes ketimbang berlatih untuk resital balletnya (toh dia sudah menghapal seluruh gerakannya di luar kepala, untuk apa berlatih?). Intinya ia sendiri bingung mengapa ibunya menamai dia Aster.

Bukan tanpa alasan Aster adalah seseorang yang kaku dan cenderung tertutup. Orang-orang melihatnya sebagai orang yang susah didekati. Orang-orang, kenal maupun tidak, pasti melihat dia dengan kagum, atau bingung, dengan dia sebagai seorang individu. Alasan utamanya adalah mata. Sebelah mata Aster berwarna ungu, dan sebelah kirinya berwarna biru. Sejak kecil, matanya yang berbeda warna itu menjadi entah sebuah keindahan, ataupun kutukan baginya. Either a blessing, or a curse.

 Perundungan bukanlah hal baru yang ditemui olehnya. Karena itulah Aster sering kali pindah sekolah. But it’s better now, tidak ada lagi yang merundungi Aster, semua orang malah memujinya karena matanya yang terlihat indah. But the deeds has been done, kini Aster adalah apa yang kita lihat sebelumnya. Satu-satunya hal yang menyerupai bunga aster hanyalah matanya. Itu pun hanya sebelah. Oh iya, kakek dan neneknya selalu berucap bahwa matanya persis warna batu mulia, amethyst, kecubung, atau apapun itu. Namun Aster hanya menanggapinya dengan ringan, bukankah kakek-kakek dan nenek-nenek selalu menganggap cucunya sebagai yang terbaik?

000

Setelah mengumpulkan nyawanya, Aster berjalan ke ruang makan yang ada di lantai bawah. Rumahnya yang bertema pantai dengan banyak jendela yang besar membantu menyegarkan tubuh Aster. Ia memakai dress katun berwarna putih gading dan menyisir rambutnya yang dicat warna merah muda dengan tangannya sendiri. Ia cukup senang dengan hasilnya, ini pertama kali Aster mengecat rambutnya sendiri, karena kebosanannya selama liburan ini.

“Aster, akhirnya bangun juga, sudah puas tidurnya, sayang?” Ibunya, Lily, bertanya, penuh dengan sarkasme alias bercanda, khas Lily sekali. Aster mendengus dan tersenyum kecut,

“Ini liburan musim panas, Ma, biarkanlah aku tidur, aku lelah begadang mempelajari dan membuat esai tentang filosofi Aristoteles hanya untuk mendapatkan gelar di bidang Liberal Arts. Kadang aku menyesal…”

“Sayang, itu pilihanmu bukan? Siapa yang dulu keras kepala untuk mengambil jurusan Liberal Arts? Kami semua selalu mendukung apapun pilihanmu,” Lily bertanya dan mengedikkan bahunya dengan santai, tertawa kecil melihat anaknya yang kini memanyunkan bibirnya, tak bisa berargumen. Sehebat apapun Aster berdebat di bangku kuliahnya, ia tak pernah sekalipun dapat berhasil membantah argumen ibunya.

“Sudahlah, sayang, sini sarapan dulu. Aku buatkan setumpuk panekuk dengan sirup maple kesukaanmu, bagaimana?”

“Ya, itu lebih baik,” Aster menjawab, Lily hanya tertawa dan kembali menghadap ke kompornya dan memasak untuk anak sulungnya.

“Ma, Louis di mana? Tumben nggak ada di rumah,” Aster bertanya. Tumben, adik laki-lakinya itu biasanya sudah bangun dari pagi untuk melukis di balkon dengan cat minyak (ah… Betapa bencinya Aster pada bau cat minyak),

“Dia pergi untuk membeli cat, atau apapun yang ia butuh, aku tak mengerti,” Lily berkata selagi mengibaskan tangannya. Aster memutar bola matanya, adiknya yang masih berada di umur delapan belas tahun terkadang melewati batas jika berhubungan dengan seni. Ia yakin setelah membeli peralatannya ia akan duduk di sebuah bangku dan melukis apapun yang bisa ia lukis.

Lihat selengkapnya