“Kenalin, dong, hehe… Kita kan seangkatan,” Adelene tertawa, Aster menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Dasar anak kecil… Nanti lah, aku coba, kadang dia nggak peduli apapun kecuali lukisan-lukisannya. Aku agak khawatir…” Aster menjawab. Sekelibat bayangan Louis terlihat di dalam pikiran Aster. Sekesal-kesalnya ia dengan Louis, tetaplah Aster adalah seorang kakak yang khawatir dan sayang dengan adiknya.
“Ya… Dia di sekolah hanya berbicara kalau perlu, dan pada teman-temannya yang satu ‘aliran’ dengannya,” Adelene menambahkan. Aster menghela napas dan merapihkan rambutnya yang ternyata masih agak berantakan,
“Makanya aku khawatir dengannya, nih, aku kasih kontaknya,” Aster melanjutkan, membuka gawainya dan memberi kontak Louis kepada Adelene. Adelene memekik senang dan memeluk Aster dengan erat,
“Baiklah, ayo lanjut!” Aster berkata dan menepuk kepala Adelene pelan-pelan, agar tidak merusak sanggul rambutnya yang sudah terpasang rapih. Adelene mengucapkan terima kasih, lalu merengut dan kembali berlatih dengan Aster, dan ballerina-ballerina lainnya. Sungguh, seberapapun Adelene senang mendapat kontak Louis, ia masih seorang anak remaja yang masih sering dilanda kemalasan untuk berlatih. Beberapa kali Aster harus menarik ballerina yang berbakat itu untuk menginjakkan kakinya di studio.
Latihan berakhir saat langit sudah gelap. Louis datang untuk menjemputnya, dan membawakan tasnya. Itu adalah rutinitas Louis di malam hari, terlalu bahaya bagi kakaknya yang terkenal ceroboh untuk berjalan sendirian di saat malam hari. Adiknya melakukan itu semua tanpa berkata apa-apa kepada kakaknya. Ia tahu jika melawan, pasti Aster memarahinya hingga kupingnya panas.
“Senangnya, punya adik laki-laki…” Aster tertawa, Louis mendengus dan mendorong bahu kakaknya main-main,
“Hei, kamu kenal Adelene?” Aster bertanya dengan penasaran. Louis mengerutkan alisnya sebentar, berusaha mengingat-ingat,
“Oh, itu, di sekolah termasuk anak populer,” Louis menjawab sekedarnya. Butuh beberapa lama baginya untuk mengingat wajah seseorang yang bernama Adelene. Entahlah, ia tidak terlalu memerhatikan orang-orang yang tidak berurusan dengannya.
“Wah? Dia satu studio sama aku,” Aster berkata.
“Hah, beneran? Dia ballet juga?”
“Iya, kamu nggak tahu?” Louis menggelengkan kepalanya. Aster menatapnya tak percaya, ia pikir satu sekolah tahu jika Adelene adalah seorang ballerina yang sudah menari mungkin sejak ia lahir dari rahim ibunya.
“Dasar, makanya, jangan lukisan-lukisan kamu aja yang diurus, perhatiin juga orang-orang di sekitar kamu!” Aster menjewer telinga Louis. Louis hanya memekik dan meminta ampun pada kakaknya,
“Kak, besok mau temenin aku, nggak?” Louis tiba-tiba bertanya. Aster menatapnya bingung, tumben banget…
“Ke mana?”
“Eze,” Louis menjawab.
“Itu jauh banget!” Aster terkejut, mana mungkin ia pergi ke Eze hanya untuk menemani adiknya pergi ke Eze, lalu pulang lagi.
“Ya perginya sama Mama dan Papa, tapi kamu temenin aku jalan-jalan,”