“Hari ini kita ke mana?” Louis bertanya,
“Aku dan Lily mau pergi ke pasar seni, kalian terserah mau ke mana, asal jangan jauh-jauh,” Paul menjawab.
“Oh… oke,” Louis menjawab. Aster masih memalingkan wajahnya di jendela, masih kesal dengan adiknya, memilih untuk tidak berbicara sama sekali. Louis yang melihatnya harus menahan tawa, kekesalan kakaknya menjadi sesuatu yang patut ditertawakan dan dinikmati, karena biasanya Louis lah yang dibuat kesal oleh kakaknya.
“Heh, masih ngambek?” Lily bertanya kepada Aster, mencolek bahu Aster beberapa kali, berharap itu dapat mengambil perhatian kakaknya.
“Hm? Nggak,” Aster menjawab singkat, kembali menoleh ke jendela di sebelah kirinya. Lily lalu diam, memang lebih baik mendiamkan anaknya yang sedang marah ketimbang mengajaknya berbicara.
Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah keramaian dengan warna-warni di sekitarnya, sejauh mata memandang, tentu pandangan mereka semua teralihkan ke keindahan dan segi-segi estetik yang dapat dilihat dari sudut pandang manapun. Louis mengambil gawainya dan memotret beberapa tempat yang ia pikir bagus untuk dipotret.
“Waah, bagus banget!” Louis menatap daerah sekitarnya dengan kagum. Matanya berbinar dengan kagum melihat-lihat apapun yang bisa ia lihat di sana.
Gedung-gedung yang terbuat dari batu, lukisan-lukisan yang dijual di sepanjang jalan, kedai yang berjejeran di sepanjang jalan. Postcard-postcard yang bertema Eze dijual di jalan setapak, pasti memikat tiap pengunjung yang melewati jalan itu. Mata Louis berbinar-binar, jelas ia senang karena kedua orangtuanya membawa mereka ke sana.
“Seneng kan, kamu?” Paul bertanya, Louis menganggukkan kepalanya dengan antusias, tidak usah ditanya pun dia sudah pasti senang, berlibur ke tempat yang sangat unik dan bersejarah, Louis tidak bisa lebih senang lagi.
“Nah, Aster, kalau kamu bosen, di dekat sini ada Nietzche Path, kamu boleh jalan-jalan di sana, kalau sudah selesai, kabari kita, Papa tahu kamu pasti tidak mau berpanas-panasan sambil berbelanja mengikuti kami,” Paul menambahkan, menepuk kepala anak sulungnya dengan sayang. Pelan-pelan senyuman mulai terkembang di wajahnya, ah memang sang ayah tahu bagaimana caranya untuk membuat kedua bersaudara itu senang.