Louis masih berbelanja dan melihat-lihat pernak-pernik ‘seni’ yang banyak berada di jalanan. Di kepalanya sudah tergambar apa saja yang mau ia lakukan dengan benda-benda yang ia tenteng di kedua tangannya. Mulai dari modelling paste, cat akrilik, cat air, kuas dengan berbagai macam ukuran, segulung kanvas, dan masih banyak lagi. Ia bersenandung dengan senang, liburan musim panas kali ini adalah sebuah berkah yang sangat indah baginya. Dalam kepalanya, Louis sudah membayangkan apa saja yang akan ia lukis dengan barang-barang barunya. Mungkin aku bisa melukis di depan rumah bibi, pemandangannya sangat indah! Aku bisa menunjukkan lukisanku kepada bibi, dia pasti suka! Louis berkata dalam hati.
“Hm, nanti mau melukis di mana, ya? Selain di depan rumah bibi?” Louis bertanya pada dirinya sendiri, selagi mengingat-ingat tempat yang ia lewati, apakah ada tempat yang menarik untuk dilukis. Sepertinya ia akan melukis di sebuah taman dekat tempatnya menginap, pohon-pohon besar mengelilingi taman yang penuh dengan bunga dan semak, sangat indah dan terasa sangat, terisolasi. Semua yang Louis butuhkan, oh, jangan lupakan bangku-bangku tua yang terlihat sangat antik, sesuai dengan kepribadiannya. Taman itu adalah Louis jika dijadikan sebuah benda mati.
Tapi sebelumnya ia tentu harus meminta izin kepada Paul dan Lily. Ia sudah bosan dimarahi oleh kedua orangtuanya karena pulang terlalu malam, tidak tahu ke mana, sedangkan keluarganya tidak tahu di mana Louis berada. Ia pun menaruh belanjaannya di bawah dan mencoba untuk menelepon ayahnya,
“Papa, nanti kalian pulang duluan aja, aku mau ngelukis dulu,” Louis berkata dalam percakapannya, tidak menghabiskan waktunya untuk berbicara tentang hal lain, Louis tidak suka berbicara basa-basi, bahkan ia lupa memberi salam kepada ayahnya, jangan salahkan dirinya! Louis sudah terlalu bersemangat dan tidak sabar untuk memainkan kuas di jemarinya yang lincah.
“Oke, nanti kalau mau pulang, bilang! Jangan malem-malem, hati-hati!”
“Iyaa… Iyaa, bakal bilang kok, santai aja!” Louis menghentakkan kakinya, pura-pura merajuk, alhasil dirinya ditatap aneh oleh orang-orang yang kebetulan melewatinya. Louis hanya menundukkan kepalanya dengan malu, kenapa harus ada orang di saat seperti ini?!
“Heh, anak kecil! Waktu itu aja ibumu hampir pingsan karena kau tidak mengabarinya, makanya aku harus mengingatkanmu!” Louis tertawa mendengarnya, merasa bersalah, mengingat wajah pucat ibunya saat ia tiba di rumah tengah malam. Dengar-dengarnya bahkan Lily hampir saja menelepon polisi setempat untuk mencarinya, untung saja Paul menenangkannya, dan pada saat itu pula tiba-tiba Louis muncul di depan pintu dengan baju kotor dengan cat (banyak berwarna merah, membuat Lily semakin panik dan ketakutan). Jangan salahkan dirinya! Ia hanya terlalu fokus melukis hingga ia lupa waktu kalau ia harus pulang. Daya baterai gawainya sudah habis, dan tidak ada stop kontak di dekatnya, sehingga ia tak bisa mengisi daya baterai. Itu bukan salahnya, kan? Setidaknya ia pulang dalam satu bagian, dengan sehat sempurna. Tidak ada yang salah, kok!
“Nggak bakal lupa lagi, kok!”
“Papa udah hapal kelakuanmu, makanya ayah ingetin kamu lagi,”