“Lily, kamu sudah menelepon Aster?” Paul bertanya kepada istrinya. Lily masih menatap gawainya sambil membuka aplikasi chatting dengan teman-temannya.
“Tidak bisa dihubungi,” Lily menjawab dengan khawatir. Langkahnya terlihat tidak tenang, Paul dapat melihatnya dengan jelas, bertahun-tahun bersama dengan Lily membuatnya hapal bagaimana kebiasaan-kebiasaan istrinya,
“Tenang dulu, mungkin di sana tidak ada sinyal, atau baterai gawainya habis,” Paul mengusap bahu Lily,
“Feelingku tidak enak, Paul…”
“Bisa saja dia teledor dan tidak mengangkat telepon, Lily, tenang saja, dia sudah besar,” Paul kembali mencoba menenangkan istrinya yang terlihat ingin menangis di depan orang-orang,
“Aku khawatir, Paul,” Lily menghela napasnya, menggenggam tangan suaminya dengan erat. Paul meneggenggam balik tangan Lily yang berkeringat dan bergetar,
“Ayo kita ke mobil dulu, duduk dulu,”
“Iya, aku harus duduk,” Lily menjawab dengan suaranya yang bergetar. Paul menuntunnya pelan-pelan ke dalam mobil mereka yang untungnya tak jauh dari tempat mereka berada saat ini.
“Minum dulu, minum,” Paul menyodorkan air minum kemasan kepada Lily, yang langsung mengambilnya dengan terburu-buru,
“Sudah tenang?” Paul bertanya pelan. Lily menganggukkan kepalanya pelan dan menghela napasnya,
“Jangan berpikir jauh dulu, mungkin saja dia cuma teledor, kau tahu sendiri bagaimana anak itu…” Paul berkata dan tersenyum kecil. Lily masih terdiam, menenggak lagi air minum kemasan yang Paul beri kepada istrinya itu.
“Panggil Louis kesini, aku takut dia kesasar juga,”
“Dia ingin melukis…”
“Cepat telepon dia, Paul,” Paul menghela napasnya dan mencoba menelepon anak bungsunya. Berita baik untuk mereka, teleponnya langsung diangkat,
“Hey nak, sini ke mobil, ngelukisnya nanti saja,”