Biner Amethyst

theresna zahra s.
Chapter #8

8

 Terik matahari membuat peluh Aster terkumpul di dahinya. Ia sangat bingung, rasanya sudah berapa jam ia berjalan di tempat yang sama, namun ia tak melihat matahari sedikitpun pergi menuju ke barat. Sudah hampir waktunya bagi Aster untuk menyerah, yah, mungkin aku harus tidur di atas pohon, liburan macam apa ini…

 “Ini aneh, ada yang tak beres dengan ini semua…” Aster mengerutkan alisnya, menendang batu yang ada di dekatnya dengan kesal dan frustasi.

 “Jangan asal tendang-tendang,” Aster menoleh ke belakang, tak dapat berkata apa-apa melihat seseorang yang melipat tangan di dadanya dengan kesal. Seorang lelaki dengan rambut berwarna pasir, lebih tinggi satu jengkal darinya. Jika tidak berada di situasi seperti ini, Aster pasti langsung mendekatinya atau setidaknya mengajaknya bercakap-cakap. Tampan… Itu adalah kata yang pas untuk mendeskripsikan wajahnya yang terpahat sedemikian rupa, membuat sosoknya terlihat begitu aristokrat. Ia pun menatap matanya yang berbentuk seperti kacang almond. Namun yang menarik perhatiannya dari mata lelaki itu adalah warnanya; ungu dan biru. Persis dengan warna mata Aster,

 “Hey, kamu dengerin?” Lelaki itu menjentikkan jemari lentiknya di depan mata Aster. Aster pun mengedipkan matanya dengan kaget, lebih kaget lagi saat menyadari bahwa wajah lelaki itu sudah berada tepat di depan wajahnya,

 “H-hah? Kenapa? Kamu siapa?” Aster bertanya, tergagap di tengah jalan. Insan yang ada di depannya lalu memutar bola matanya dengan malas,

 “Aku Asta, penjaga tempat ini,” Asta mengenalkan dirinya dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Aster, Aster menyambutnya dengan ragu-ragu. Tentu saja, Aster curiga, untuk apa ada seseorang yang melancong di tengah-tengah hutan, kalau tidak tersesat? Pakaian Asta juga tak tampak seperti orang yang sedang hiking. Asta memakai kemeja longgar, terlihat terlalu besar di bingkai tubuhnya, berwarna putih dengan celana bahan berwarna abu-abu menjurus ke hitam.

 “Kenapa matahari tidak terbenam?” Aster bertanya pelan, menunduk, entah mengapa ia merasa terintimidasi dengan mata Asta, sekaligus menyembunyikan semburat merah yang muncul di pipinya.

 “Hm, karena aku tidak mau. Masalah?” Asta bertanya, menyunggingkan senyuman kepada Aster.

 “Ng-nggak, sih… Cuma aneh aja…” Aster menjawab, semakin menatap ke bawah dan meremat jumpsuit yang ia pakai. Ah, tanganku basah… Aster menyadari saat ia menyentuh fabrik yang melekat di tubuhnya,

 “Nggak usah tegang, jadi basah, kan, tangannya…” Asta berkata, seakan dapat mendengar isi kepala merah muda milik Aster. Si merah jambu hanya bersemu dan memanyunkan bibirnya, membuat Asta semakin tertawa,

 “Ya sudah, sini, ikut aku,”

 “Nggak mau! Nanti diculik!” Aster memejamkan matanya dengan takut. Asta tertawa terbahak-bahak melihat Aster yang terlihat seperti anak kecil,

 “Ya sudah, kalau mau di sini terus terserah, paling nggak bisa keluar…” Asta mengusap ujung matanya yang basah karena tertawa, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan Aster.

 Aster tak bisa diam di tempatnya, memanyunkan bibirnya, dan akhirnya berlari dan meraih tangan Asta yang sudah berjalan agak jauh,

 “Aku ikut!” Aster berkata. Asta mengangkat bahunya dan menggenggam balik tangan Aster, dan mulai berjalan bersama.

 Aster dan Asta berjalan bersama, kaki mereka melangkah bersama. Mereka berdua menikmati sepi yang melingkup di antara mereka. Bukan menikmati, bagi Aster, ia masih agak tidak percaya dengan lelaki yang tangannya ia genggam saat ini,

 “Kita mau ke mana?” Aster bertanya dengan penasaran, suaranya masih bergetar, masih ketakutan, nanti kalau aku dibekap di tengah hutan, bagaimana?! Batinnya dengan takut. 

 “Nanti kau tahu sendiri,” Asta menjawab tak kalah singkatnya.

 “Kenapa sih, nyebelin!” Aster menggerutu, Asta hanya tertawa melihatnya, namun tak menjawab gerutuan Aster.

 “Bagaimana kabar keluargaku?” Aster akhirnya kembali bertanya. Asta menghentikan langkahnya,

 “Kamu ingin tahu?” Asta bertanya, Aster menggumam. Asta pun berhenti berjalan, membuat Aster kebingungan,

 “Ada apa? Kenapa berhenti?”

 “Tidak apa-apa, ayo kita lanjut,” Asta tersenyum dan menarik tangan Aster untuk kembali berjalan,

 “Iih, jangan tarik-tarik!” Aster merajuk, hampir tersandung dengan kakinya karena Asta menariknya tiba-tiba,

 “Dasar, ceroboh banget,”

 “Kamu yang tiba-tiba narik!”

 “Tapi kamu yang tersandung kaki kamu sendiri, kan?”

Lihat selengkapnya