Biner Amethyst

theresna zahra s.
Chapter #9

9

Lima jam berlalu tanpa ada kabar dari kepolisian. Selama itu pula Lily tidak bisa tertidur dengan pulas di kamarnya. Bangun, mengambil segelas air, kembali ke kamar, mencoba tidur, membalikkan badan beberapa kali, lalu bangun lagi. Lima jam berlalu dan Lily masih melakukan itu, menunggu telepon dari kepolisian.

 “Belum ada?” Paul bertanya, keadaannya tak jauh beda dengan istrinya. Dengan kantung mata yang mulai terlihat di matanya, Paul masih memegang gawainya, menunggu panggilan, pesan, atau apapun, tentang keberadaan anak sulungnya.

 Lily kembali menangis, air matanya sudah habis karena menangisi Aster, oh Tuhan, bahkan Lily tidak bisa menyebutkan nama itu tanpa mengeluarkan isakan. Paul hanya bisa mengusap kepala istrinya, mencoba menenangkan perempuan yang sudah menemaninya selama ini. Kata-kata manis sudah tak mampu menenangkan Lily,

 “Bagaimana dengan Aster, Paul? Ini sudah malam, pasti dia kedinginan di luar sana!” Lily berkata dengan terisak-isak.

 “Kita harus percaya, Lily. Percaya kalau Aster akan kembali kepada kita, jangan berputus asa dulu…” Paul berbisik seraya mengelus kepala Lily. Sang empu tak menjawab, hanya melanjutkan isakannya, dan tanpa sadar ia tertidur karena kelelahan. Sebuah tidur tanpa mimpi, gelap, senyap, seperti tenggelam ke dalam jurang tanpa dasar.

 Di kamar lain Louis juga tak bisa tertidur. Sama sekali, tak bisa memejamkan matanya walaupun hanya sedetik. Seluruh pikirannya dipenuhi oleh perempuan dengan rambut berwarna merah muda, dengan buku literatur yang aneh, dan mulutnya yang tak dapat berhenti bicara walau hanya sebentar. Beberapa kali bahkan Louis dapat mendengar ibunya menangis tersedu-sedu di ruangannya.

 “Bagaimana ini…” Louis mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ini pertama kali Louis merasakan sebuah ketakutan, bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa tentang situasi ini. Louis takut kakaknya tidak balik ke pelukan mereka. Takut jika hari kemarin adalah hari terakhir ia melihat segumpal rambut berwarna merah muda. Takut, Louis sangat takut.

 Louis menatap gawainya, mengerutkan alisnya menatap layar gawainya yang terlalu terang. Ia pun mulai memainkan gawai tersebut, karena jelas, malam ini Louis tidak bisa tidur, hingga tiba-tiba seseorang meneleponnya. Adelene? Teman Aster? Ia bertanya dalam hati, dan memutuskan untuk menjawab panggilan telepon tersebut, tidak ada salahnya, aku juga tidak bisa tidur kok saat ini,

 “Halo? Ada apa?” Louis langsung bertanya, tidak mau berbasa-basi. Basa-basi adalah hal terakhir yang mau Louis lakukan dalam sebuah percakapan,

 “Apa Aster ada bersamamu? Sejak sore aku mencoba meneleponnya, tapi tidak ada jawaban…” Adelene bertanya dengan khawatir. Louis dapat mendengar kekhawatiran di dalam suara gadis yang manis tersebut. Haruskah aku memberitahunya? Ya, dia harus tahu… Louis menimbang dalam hatinya,

 “Aster… Hilang,” Louis menjawab, membisikkan kata terakhir dengan sangat lesu. Adelene yang mendengar di ujung telepon tiba-tiba terdiam, mencoba mencerna apa yang telah Louis katakan barusan,

 “Hilang? Apa maksudmu? Jangan bercanda-“ Louis merasakan suara Adelene yang semakin tinggi sesaat dia mulai berbicara, memutuskan untuk memotong perkataannya dulu,

 “Adelene, kita memang tidak dekat. Tapi kamu teman dekat kakakku, dia pasti selalu bercerita tentangku kepadamu. Aku bukan orang yang suka bercanda, apa lagi dalam keadaan seperti ini, ketika kakakku hilang seperti ditelan bumi,” Louis berkata panjang lebar. Ini pertama kali Adelene mendengar Louis berbicara sepanjang ini. Mereka berdua tidak bisa berkata apa-apa, kehilangan kata-kata untuk diutarakan,

 “Apa kamu sudah menelepon polisi?

 “Dari tadi, dan belum ada kelanjutan,” Louis menjawab dengan lesu.

 “Di mana Aster hilang?” Adelene bertanya pelan-pelan, takut jika ia akan membuat Louis semakin sedih,

 “Nietzche Path¸ ia pergi sendiri,”

 “Tapi bukannya Nietzche Path sudah punya jalan setapak sendiri? Tidak mungkin dia bisa tersesat,” Adelene bertanya, baginya cerita Louis tidak masuk akal. Ia jelas mengenal Aster, dan tidak mungkin kakak kelasnya itu tersesat di tempat yang sudah jelas jalannya. Tidak mungkin Aster sengaja pergi ke pepohonan yang ada di Nietzche Path, mengingat betapa tidak maunya Aster melakukan kegiatan yang berhubungan dengan alam liar. Aster yang ia kenal akan memilih untuk mendekam di perpustakaan dengan segala literatur anehnya, atau mungkin menjamur di studio ballet. Tidak ada ceritanya Aster berjalan-jalan, sendirian, ke dalam hutan.

 “Itu yang menjadi masalah. Ke mana dia pergi sampai hilang? Aster memang ceroboh, tapi ini sangat mustahil, ini tidak masuk akal, sama sekali,”

 “Ya, aku tahu, aku pernah trekking di sana tahun lalu. Ini sangat mustahil. Walaupun tidak pakai tour guide, kamu bisa berjalan di sana tanpa tersesat,” Adelene berkata,

Lihat selengkapnya