Tidur tersebut merupakan sebuah tidur yang paling nyenyak bagi Aster selama ia kuliah saat ini. Terakhir ia bisa tidur senyenyak ini mungkin saat ia masih lima belas tahun. Aku terlalu memaksakan diriku selama ini… Aster mengusap matanya dan menguap, pandangannya masih kabur, akibat baru bangun tidur.
“Sudah bangun?” ia dapat mendengar suara Asta di samping nakas, duduk di kursi sambil membaca buku. Tidak lupa melipat kaki kanannya di atas kaki kirinya. Tampaknya ia telah menunggu Aster untuk beberapa lama,
“Hmm, ini jam berapa?”
“Seharusnya, ini jam sembilan pagi,” Asta menjawab dan meletakkan secangkir teh manis hangat di nakas,
“Ini, minum dulu,”
“Dari mana kau tahu aku suka minum teh di pagi hari?” Aster bertanya dengan penasaran, suaranya masih serak, kepala merah jambu itu masih mengumpulkan kesadarannya.
“Kamu adalah tamuku, sudah sepantasnya bagi seseorang untuk melayani tamunya dengan baik, bukan?” tanya Asta sambil menuangkan teh hangat yang asapnya masih mengepul itu ke cangkir porselen yang terlihat indah, Aster taksir harganya mungkin melebihi gaji kerja sampingannya sebagai barista di kedai kopi dekat rumahnya.
“Maksudnya?” Aster bertanya sambil memicingkan matanya karena kebingungan, tentu saja, karena ini semua tidak masuk ke dalam logikanya, membuat Asta tertawa kecil, mengusak rambut Aster,
“Bangun dulu, ini masih setengah-setengah. Minum tehnya,” Asta berkata dan berdiri dari kursinya, menepuk celananya dan keluar dari ruangan tersebut.
“Kamu mau ke mana?”
“Menyiapkan sarapan, kalau kamu sudah siap, langsung ke meja makan yang semalam,” Asta menjawab.
“Aku masih mau tidur…” keluh Aster dan kembali menjatuhkan kepalanya di atas bantal yang sangat empuk dan tebal.
“Hah, dasar, ya sudah… Pokoknya kalau sudah tidak mengantuk, langsung sarapan, nanti masuk angin,”
“Iyaa…” Aster menjawab dan menelungkupkan tubuhnya di Kasur, membuat suaranya teredam oleh bantal kepalanya.
Asta yang melihat Aster hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Untuk pertama kali Asta melihat tamunya yang sangat manja dan tidak mau bangun dari tempat tidurnya. Tapi Asta membiarkannya. Toh Aster adalah seorang tamu, sudah seharusnya ia melayaninya sebaik mungkin.
Sekitar lima belas menit kemudian Aster keluar dari kamar tersebut, dan kembali mengusap matanya,
“Waah… Silau sekali,” Aster memanyunkan bibirnya. Asta hanya menatapnya dan tersenyum geli melihat perempuan yang lebih pendek darinya,
“Ya, matahari bersinar sangat terang hari ini,” Asta tak menoleh, masih sibuk memotong entah apa yang ada di talenannya,
“Mau dibantu?” Aster bertanya, rasanya tangannya tidak bisa diam, ia gemas ingin membantu Asta dengan segala urusan dapurnya.
“Tidak perlu, kamu duduk aja di kursi, nggak usah macam-macam,” Asta menunjuk kursi di meja makan dengan dagunya, tangannya sibuk memotong bahan-bahan untuk sarapan.
“Masak apa?” Aster akhirnya bertanya setelah beberapa lama,
“Sup,” Jawab Asta dengan singkat,
“Oh… Oke…” Aster menganggukkan kepalanya dan menangkup dagu di tangannya, menatap punggung bidang milik Asta. Suasana di rumah itu terasa tenang, Aster tidak merasa takut, ia bahkan merasa senang berada di tempat ini. Apa lagi dengan kamar yang menyenangkan, bantal yang tebal dan empuk, membuat Aster merasa terlalu nyaman berada di sini.
“Kamu itu sebenarnya apa?” Aster bertanya, rasanya tidak mungkin seseorang yang begitu muda tinggal menyendiri di sebuah hutan.
“Aku adalah apapun yang kau mau, yang kau bayangkan,” Asta menjawab. Aster mengerutkan alisnya,
“Aku tidak pernah membayangkan sosok seperti dirimu,”
“Oh, tapi kamu selalu membayangkan apakah ada seseorang lain yang bernasib sama denganmu, lihat mataku,” Asta menjawab. Aster mencoba menyangkal, namun, ia harus mengakui. Aster selalu bertanya-tanya apakah di belahan dunia lain, ada sosok yang bernasib sama dengannya. Ah, tentu saja ada, hanya saja Aster tak mengenalnya,
“Dan aku ada di sini, bukan berada di belahan dunia yang lain. Aku adalah apa yang kau bayangkan, bukan?” Asta bertanya.
“Ya, kau benar… Tapi, kenapa aku ada di sini? Aku memang ingin bertemu dengan orang yang heterokromia, tapi kenapa? Kenapa harus di sini?” Aster bertanya bertubi-tubi. Tak habis pikir dengan semua kejadian ini, ia hanya ingin liburan yang tenang, tidak ingin bertemu dengan sosok aneh seperti Asta!
“Aku hanya mengabulkan permintaan pengunjungku, aku tidak tahu apa lagi yang kau inginkan, hanya kau yang tahu,” Asta menjawab dan tersenyum miring.
“Hm? Apa yang aku inginkan? Bukankah kamu yang membawaku ke sini?” Aster kini menunjuk Asta tepat di wajahnya, jelas-jelas dia yang membawaku ke tempat ini!
“Ya, aku yang membawamu ke sini. Tapi aku membawamu ke sini atas permintaanmu, langsung ataupun tidak,” Asta membalas,
“Kalau begitu bagaimana kau tahu jika aku berharap bertemu dengan orang yang bernasib sama denganku?” Aster bertanya. Asta menghela napasnya,
“Sudah kubilang, aku adalah apa yang kalian bayangkan tentangku. Seseorang kakek tua dulu ingin memiliki seorang anak yang menemaninya karena semua anak kandungnya meninggalkannya, maka aku menjadi ‘anak’ dari kakek tua yang baik itu. Aku tahu apa keinginan mereka, tapi aku tidak tahu apa yang membuat mereka ‘masuk’ ke dalam dunia ini,” Asta menjelaskan sebisanya. Sangat sulit menjelaskan apa yang terjadi di tempat ini, terutama bagi Asta yang tugasnya adalah menjaga tempat ini dan tamunya.
“Lalu kau menjemputku?” Aster bertanya,
“Ada pertanda,” Asta menjawab singkat.
“Pertanda apa?”
“Bunga aster tiba-tiba tumbuh dengan subur dalam sehari di tamanku,” Asta mengangkat bahunya,
“Taman yang mana?”