Biner Amethyst

theresna zahra s.
Chapter #11

11

 Entah hari ke berapa, Louis sudah tak menghitung lagi. Yang berada di pikirannya hanyalah wajah kakak perempuannya yang entah hilang ke mana. Berita tentang hilangnya Aster kini menyebar ke seluruh penjuru Eze, bahkan Antibes. Beberapa, bukan, banyak wartawan yang mendatangi mereka, namun kedua orangtuanya menolak untuk melakukan wawancara.

 “Aku bisa gila…” Louis melempar bantal yang ia peluk ke lantai dan meremat rambutnya sendiri, kemanapun ia pergi, selalu terbayang wajah kakaknya yang tersenyum, memanggil namanya dan berbicara tanpa henti. Louis tak dapat menghilangkan bayangan itu dari pikirannya, ia sungguhan bisa menggila karena hilangnya kakak satu-satunya itu.

 “Louis, ayo, sarapan…” Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, dipanggil oleh ibunya dengan suaranya yang terdengar lemah,

 “Iya…” Louis menjawab, tak kalah lemasnya dan beranjak dari kasurnya. Dengan kantung mata yang terlihat sangat besar, karena malam-malam ia tak bisa tertidur,

 “Makan apa, Ma?” Louis bertanya, basa-basi. Ia tak peduli apa yang akan ia makan, aku sudah tak punya nafsu makan… Louis berkata dalam hati. Sering kali ia memuntahkan apa yang ia makan sebelumnya ke dalam toilet di kamarnya, tentu tanpa memberi tahu Lily dan Paul,

 “Apapun yang aku masak, kalian pasti memakannya, kan?” Lily tertawa hambar, Louis menghela napasnya,

 “Iya juga, ya… Ayah di mana?”

 “Sudah di meja makan,” Lily menjawab,

 “Ya sudah, ayo kita ke sana, Ma,” Louis berjalan mendahului ibunya, menuju ke tempat ayahnya yang sedang duduk termenung.

 “Hm? Sudah datang?” Paul bertanya, lamunannya terpecah dengan langkah kaki istri dan anaknya,

 “Ya, ayo kita makan…” ucap Paul sebelum menyuapkan mashed potato ke dalam mulutnya, mengunyahnya dengan lemas.

 Tidak ada yang berbicara selama mereka makan, hanya ada dentingan suara alat makan berbunyi di antara keluarga itu. Suasana terasa begitu dingin tanpa adanya Aster di antara mereka. Louis benar, ia mulai menggila dengan keadaan seperti ini.

 “Aku sudah selesai, balik dulu ke kamar,” Louis akhirnya memecah kesunyian yang mencekik itu dan langsung pergi ke kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi kepada ayah dan ibunya. Paul dan Lily hanya menggumam tanpa mengindahkan perkataan Louis.

 Aneh, Nietzche Path sudah disisir sedemikian rupa, namun jejak Aster tidak bisa ditemukan. Anjing pelacak hanya dapat mencium jejak Aster sampai sebuah tempat, namun hilang begitu saja tanpa jejak. Hilangnya Aster terasa, supernatural, terasa tidak nyata. Sedikitnya, itulah yang Louis pikirkan tentang hal ini.

 “Ah, aku terlalu banyak berimajinasi,” Louis berkata sebelum menyandarkan kepalanya di atas kasur. Memejamkan matanya, dan tanpa sadar tertidur dengan lelap, tidur yang lelap, tanpa mimpi apapun, gelap.

000

 Aster kembali menatap langit yang semakin menggelap. Aneh, katanya di dunia ini nggak pernah ganti dari siang, kok, sekarang, semakin gelap? Ia bertanya dalam hati, memanyunkan bibirnya dengan kesal. Bahkan Asta belum balik dari lantai bawah, emang dia ngapain aja, sih?

 “Asta! Kamu di mana, sih?” Aster memanggilnya, beranjak dari kursi makan dan berjalan ke arah tangga,

 Jawaban yang diterima oleh Aster hanyalah keheningan, hah, kok aneh… Aster semakin penasaran dan menuruni tangga rumah Asta. Curiosity kill the cat but, whatever… Aster mengangkat bahunya tidak peduli.

 “Asta… Kamu di mana?” Aster berteriak, barangkali Asta tidak mendengar suaranya karena suaranya terlalu kecil.

 “Asta….”

 “Aku di sini!” Asta menjawab, juga dengan teriakan,

 “Ada apa, sih? Kok lama banget,” Aster segera berlari dan menemukan Asta yang berada di taman belakang rumahnya, menatap langit yang menuju gelap,

 “Gelap…” Asta berbisik, sama sekali tak mengindahkan pertanyaan Aster, perempuan itu hanya mengerutkan alisnya,

 “Kenapa, memang, kalau gelap?”

 “Sudah kubilang, Aster, tidak pernah ada gelap dalam dunia ini,”

 “Terus?”

 “Ini aneh, ada yang tidak beres dengan duniaku…” Asta berbisik, dan dunia di sekitar mereka langsung hening. Suara jangkrik, tonggeret, hilang. Aster dapat mendengar suara degup jantungnya yang tiba-tiba terasa begitu kencang, ada yang tidak beres…

 “Ya, ada yang tidak beres dengan semua ini, ayo kita masuk ke dalam,” Aster menggapai lengan Asta dan menariknya pelan,

 “Ayo…” Asta berkata setelah menghela napas. Pertama kali ia merasa tidak aman dengan tempat tinggalnya. Entah berapa lama ia sudah diam dan menjaga tempat ini, tak pernah ia merasakan perasaan yang menjalar di dalam tubuhnya ini.

 “Asta, ayo!” Aster memecahkan lamunan Asta,

 “Ah, iya…”

 “Jangan melamun, kita pecahkan ini bersama-sama. Aku ingin pulang, kau ingin tempat tinggalmu aman, iya kan?” Aster menatap Asta dengan serius.

 Jika ditanya apakah Aster takut, tentu ia teramat takut. Terpisah jauh dari keluarganya, tanpa mengetahui kabar mereka sama sekali, siapapun pasti takut. Tak terkecuali berapapun umurnya, jenis kelaminnya, semua pasti takut jika mereka berada di dalam keadaan seperti ini. Ia mencoba mempercayai Asta, namun sulit, aku masih, dan akan selalu ketakutan selama aku masih berada di dunia ini… Ia berkata dalam hati. Aster menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berdetak dengan begitu cepat

 “Tapi dari mana kita harus memulai?” Aster kembali bertanya, Asta menggenggam tangan Aster, seakan mencoba memberinya keyakinan,

 “Kita pasti menemukannya, tenang,” Asta berbisik dan menarik lengan Aster untuk kembali ke dalam rumah mereka,

 “Hari ini kita beristirahat dulu, besok kita akan membicarakan hal ini,” Asta mengusul, Aster hanya bisa menganggukkan kepalanya. Memang apa yang bisa mereka lakukan saat ini? Saat ini Aster dan Asta hanya bisa diam dalam kebingungan, dan ketakutan.

Lihat selengkapnya