Lelaki itu mulai bersiul kala ia selesai melihat-lihat ruangan barunya tersebut. Louis dapat merasakan otot-otot tubuhnya yang kelelahan karena berjalan begitu lama, untung saja ia menemukan pondok Asta, ditambah lagi ia juga menemukan kakaknya, orang yang paling ia rindukan selama beberapa hari ini. Pelan-pelan Louis membalikkan tubuhnya sehingga ia berbaring menghadap ke langit-langit kamar yang tentunya terbuat dari kayu pula. Sakit hati… Louis berkata dalam hati, mengingat-ingat apa yang barusan Asta katakan.
“Apa aku pernah sakit hati dengan apa yang Aster katakan? Atau sebaliknya?” Louis bertanya kepada dirinya sendiri, atau kepada siapapun yang mungkin mendengarnya.
Pelan-pelan Louis memejamkan matanya sambil berpikir keras dengan perkataan Asta, namun tak lama kemudian,
Louis tertidur.
000
Aster sedari tadi hanya berbaring di kamarnya, masih merasakan amarah atas apa yang dikatakan Asta tadi,
“Tahu apa dia tentang aku?!” Dengusnya dengan kesal, mengacak selimut yang ia pakai, gerah rasanya.
Sakit hati? Aster sudah kebal dengan itu. Hatinya mungkin sudah kebal dengan perkataan orang-orang tentang dirinya. Apakah sebuah dosa memiliki warna mata yang berbeda? Tidak, Aster pikir tidak. Mengapa perbedaan sekecil itu saja menjadi sebuah bahan perundungan? Tidak masuk akal, Aster membencinya. Sungguh, Aster benar-benar membenci seluruh orang yang pernah menyakitinya, dan ketidakmampuan dirinya untuk melawan.
Terkadang Aster hanya ingin berada di suatu tempat terpencil tanpa ada yang mengganggunya, bahkan ia berharap untuk bertemu dengan seseorang yang mungkin bernasib sama dengannya.
Sebentar, apa itu harapannya sendiri?
Aster mendudukkan dirinya di atas kasur, memegang kepalanya dengan frustasi. Apa ini yang aku inginkan? Aster bertanya dalam hati. Tidak mungkin, tidak mungkin, aku ingin berada bersama orangtuaku, bukan berada di sini!
“Aku tidak menginginkan ini! Mengapa aku ada di sini!” Aster berbisik, dengan suara yang bergetar. Aster hanya ingin sebuah liburan yang menenangkan, melepas penatnya, melepas bebannya, meregangkan ototnya dari berlatih ballet dari pagi buta hingga malam pekat, Aster tidak ingin tersesat di sebuah tempat yang tidak jelas ini. Ia ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya, membayar waktu yang ia lewatkan karena kesibukannya dengan kuliah, ia ingin mendekatkan hubungannya dengan Louis sebagai adiknya, karena sejujur-jujurnya, Aster tak pernah begitu memahami perasaan adiknya, karena mereka berdua terlalu sibuk dengan urusannya satu sama lain.
Aster tidak pernah menyangka liburannya akan dihabiskan bersama seorang laki-laki yang sangat serupa dengannya. Tidak mau, Aster tidak mau terisolasi di sebuah tempat, yang bahkan bukan ‘dunia’-nya. Bagaimana caranya aku bisa kembali ke duniaku? Aku ingin menghabiskan liburan seperti orang biasa, tidak seperti ini… Aster dapat merasakan udara di dadanya seperti ditekan, ia tidak dapat bernapas dengan baik, ini tidak benar, aku perlu bernapas, aku perlu tenang… Aster memegang kepalanya dengan kencang. Dengan pusing yang melanda, Aster mencari pintu keluar dari kamarnya, meraba-raba tembok di kamarnya, dan untungnya menemukannya dengan mudah.