Aster, Asta dan Louis kini berkumpul di karpet perpustakaan, tidak ada yang memulai percakapan, Aster menatap Louis dengan kesal, Louis hanya bisa menundukkan kepalanya dengan takut. Asta menatap mereka bergantian, apa harus aku yang memulai pembicaraan ini? Dasar bocah…
“Hei, jadi bagaimana ini?”
“Aku tidak mau meminta maaf,” Aster segera menjawab,
“Tidak ada yang menyuruhmu meminta maaf, aku hanya ingin kita semua berdiskusi,”
“Apa yang perlu didiskusikan?”
“Semuanya, Aster. Ini hal yang penting,” Asta menatap Aster dengan serius, Aster bahkan terdiam mendengar Asta yang terasa sangat serius,
“Dari mana kita harus memulainya?” Louis bertanya dengan suaranya yang pelan,
“Mengapa kamu bisa berada di sini? Apa urusanmu, hingga terlibat dengan ini semua?” Aster langsung bertanya,
“Aku… Aku khawatir tentangmu, Mama dan Papa juga sangat khawatir, polisi tidak bisa menemukanmu, jadi aku mencoba mencarimu… Lalu aku bertemu Pierre, dan aku sampai di sini,” Louis menjelaskan dengan suara yang begitu pelan,
“Mengapa Pierre, atau siapapun itu, membolehkanmu untuk masuk ke sini?” Aster kembali bertanya,
“Aku tidak tahu, bahkan ia tiba-tiba tahu namaku pertama kali dia bertemu denganku,” Louis mengerutkan alisnya, hal ini pun masih menjadi misteri bagi sang adik,
“Pierre memilih orang yang ia percaya,” Asta berkata,
“Maksudmu?”
“Ya, Pierre percaya kepadamu, percaya bahwa apapun masalahmu dengan orang yang tersesat, maka kamu bisa menyelesaikannya. Sekarang, apa yang menjadi masalah di antara kalian berdua? Aku lihat kalian baik-baik saja, banyak orang yang tidak berhasil keluar sebelum menyelesaikan masalahnya dengan pendatang barunya,” Asta menjelaskan dan memiringkan kepalanya dengan bingung.
“Apa kalian punya masalah yang tidak terselesaikan?” Asta kembali bertanya. Aster menghela napasnya,
“Pernah…”
“Kapan?!” Louis terkejut, tidak percaya akan pendengarannya. Ia menatap kakaknya dengan penasaran,
“Dulu, Louis, dulu… Saat kita kecil…”
000
“Kamu tidak mengerti, Louis, kamu tidak mengerti!!!”
“Apa yang aku tidak mengerti, kak?! Toh kakak yang yang dirundung, kan? Aku yang kena imbasnya! Kakak tahu apa yang mereka ak an a kepadaku?! Mereka mengejekku karena punya kakak sepertimu!!!”
Aster kecil terdiam mendengar perkataan adiknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berlari pergi dari ruang tamu tempat mereka bertengkar, pergi ke taman yang berada tepat di depan rumah mereka, dan mendudukkan dirinya di sebuah bangku.
Jujur, Aster ingin pergi dari dunia ini, bahkan untuk sebentar saja. Ia lelah diganggu oleh orang-orang, baik yang ia kenal maupun tidak ia kenal. Ia lelah menjadi bahan olok-olok temannya, lelah mendapat tatapan menusuk dari orang-orang di sekitarnya. Mengapa ia tidak dilahirkan seperti teman-temannya? Mengapa ia tidak dilahirkan seperti adiknya? Sungguh, Aster ingin pergi, pergi dari dunia ini dan menenangkan dirinya sendiri-
“Hey, lihat anak itu,”
“Yang mana?”
“Itu! Yang sedang duduk di kursi” Kedua orang itu berbisik-bisik, Aster dapat mendengarnya dengan jelas.
“Oh, yang itu, ada apa, memang?”
“Lihat matanya!” Orang itu menunjukkan telunjuknya ak an Aster. Aster pun mulai bergetar,
“Waah, iya! Warna matanya aneh, ya?”