Sepanjang perjalanan pulang, diatas motor Vega hanya diam membisu tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Dia terus kepikiran obrolan Bastian dengan Neil barusan hingga tanpa terasa tangan kanannya terus mencubit pahanya sendiri. Sebenarnya perjalan pulang dari kelas akting menuju kosan Vega jika menggunakan motor hanya menempuh waktu dua puluh lima menit, tapi kali ini terasa sangat lama bagi Vega yang sedang kalut karena amarah.
Neil yang merasa aneh karena Vega yang diam saja, berinisiatif membuka obrolan, “gimana first impression kamu setelah ngobrol sama mas Bastian tadi?”
Vega diam saja tidak menjawab. Panas Jakarta sore itu mulai tidak berlaku untuk Neil, mendadak dia merasa sangat dingin. Sedingin respon Vega. Namun Neil ternyata bukan sosok pantang menyerah, dia masih berpikir untuk mencairkan suasana. Meskipun dia tidak tahu kalau tindakannya itu memiliki konsekuensi besar.
“Ga, coba deh bayangin. Kalo misalkan aku jadi ikut kelas akting bareng kamu, pasti seru ya?”
Vega kaget mendengar itu. Dalam pikirannya mengatakan kalau Neil adalah seorang penghianat besar yang bisa bisanya berpikiran untuk bersaing dengannya.
“Kamu mau jadi sutradara kan?” Ucap Vega dingin.
“Iya. Tapi siapa tahu mungkin jalanku jadi aktor dulu? Kayak Sophan Sophiaan atau Rano Karno hehehe.”
Tanpa sadar, Neik menabuh genderang perang.
“Kamu mau saingan sama aku? Pantes dari tadi caper ke Bastian?” Vega kembali bertanya sambil mencubit pahanya sendiri.
“Aku gak caper kok ke dia, emang aura aku aja kali berasa? Hehehe lagian kan seru kalo meniti karir bareng, romantis gitu kedengarannya.”
Vega geleng geleng kepala, kecewa mendengar ucapan Neil. Dia teringat omong kosong seperti yang selalu papanya bilang ke mamanya.
Vega akhirnya melepaskan amarahnya yang sudah dipendam.
“Sutradara ya sutradara aja! Jangan munafik!” Nada bicara Vega meninggi, Neil sadar kalau dari tadi telah membuat keputusan salah.
“Engga gitu maksudku sayang, aku cuma bercanda kok.” Jawab Neil membela diri dengan gelagapan.
“Alah munafik lo! Jelas jelas tadi lo excited banget ngobrol sama Bastian! Mentang mentang dia bilang lo punya aura! Lo pengen saingan sama gue gitu?!”
Vega berteriak kencang, membuat pengendara motor yang di sebelah mereka jadi menoleh penasaran. Mengetahui Vega emosi, Neil mencoba menenangkan.
“Iya sayang, maaf ya maaf. Jujur aku gak bermaksud gitu kok.”
Semakin Neil bicara, semakin Vega naik emosinya. Tiba tiba saja dia mencubit perut kanan Neil dengan kencang. Neil yang kesakitan dengan tangan kirinya langsung menarik tangan Vega untuk melepaskan cubitan.
“Arghhhhhhh!!!” Vega teriak kesal.
Tak terasa mereka sudah sampai di kosan Vega. Vega yang kesal langsung turun dari motor dan masuk kedalam kos. Melihat Vega yang sangat marah, membuat Neil berinisiatif untuk menenangkannya. Dia lalu memarkirkan motor dan langsung masuk ke dalam kos Vega.
***
Kos Vega berada cukup jauh dari kampusnya. Untuk kos kosan seharga satu juta lima ratus per bulan dengan ac dan kamar mandi dalam, memang sangat sulit jika mencari di dekat kampus. Maka memang pilihan yang realistis jika dia memilih yang jauh dari kampus, karena dia juga tidak mau merepotkan mamanya.
Kamar Vega berada di lantai tiga paling atas dan paling pojok dari total sepuluh kamar yang ada di lantai tersebut. Sebuah kamar pas untuk Vega yang suka menyendiri. Kos itu dijaga oleh Ibu Reni dan anaknya yang masih berusia tiga belas tahun bernama Rano, kependekan dari Soekarno. Ibu Reni adalah sosok yang ramah dan keibuan, maka tidak heran jika banyak orang yang betah tinggal di kos itu. Salah satunya Chika dan Chiko, dua sejoli asal Medan yang masing masing sudah menyewa kamar di lantai tiga selama tujuh tahun.
Hari itu di ruang tamu lantai satu sedang ada ibu Reni, Chika dan Chiko dengan ngobrol sambil menonton video dari handphone Chika. Chika dengan bangga menunjukan video joged yang dia buat di sebuah sosial media.
Neil kemudian masuk ke kos dengan sedikit buru buru. Namun melihat di ruang tamu sedang ada ibu Reni, Neil berhenti dulu untuk basa basi menyapa.
“Eh bu Reni, saya mau ke lantai tiga ya? Samperin Gaga.”
“Silahkan mas. Tadi kayaknya Gaga barusan aja naik.” Jawab bu Reni sambil tersenyum.
“Tumben nih gak bareng jalannya? Lagi berantem ya?” Ledek Chika ikut nimbrung ke dalam obrolan.
“Heh kamu ikut nimbrung aja. Bukan berantem tapi lagi “berdebat”.” Tambah Chiko dengan nada meledek.
Neil tersenyum lalu membalas.
“Ngga lagi berantem, mas Chiko dan mba Chika, cita cita aku sama Vega kan pengen jadi pasangan sehidup semati kayak kalian. Jalan jalan kompak selalu berdua, kuliah lulus lima tahun juga kompak, nganggur dua tahun juga bareng. Duh so sweet.”
Ledek Neil yang membuat bu Reni tertawa. Neil lalu langsung lari ke lantai tiga.
“Dihh bocah bisa bisanya ngeledek.” Ujar Chika sewot.
“Tapi bener loh kata dia, jangan lama lama makanya kos disini. Pulang kampung sana, cari kerja.”
“Lah bu Reni malah ikut ikutan aja.” Ujar Chiko ikutan sewot.
Di lantai tiga Neil pelan pelan berjalan menuju kamar Vega. Dia mengumpulkan keberanian sambil otaknya mencari kata kata yang tepat untuk minta maaf. Sampai depan kamar, Neil diam sejenak kemudian memutuskan untuk mengetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban. Dia lalu membuka gagang pintu, ternyata tidak dikunci.
Saat masuk kedalam kamar Vega, jantung Neil berdegup dengan kencang. Dia menghampiri Vega yang sedang duduk di sisi kasur sambil bermain handphone. Neil lalu ikut duduk di sebelah Vega.
“Aku minta maaf ya soal tadi, aku gak bermaksud buat jadi saingan atau apalah itu.” Ucap Neil dengan nada pelan.
Vega tidak menjawab tapi malah beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Kemudian terdengar suara air yang keluar dari dalam kran. Neil cuma bisa terus mengusap muka sambil mencari cara untuk minta maaf.