Satu bulan kemudian setelah kejadian sebelumnya, Vega dan Neil terlihat selalu menghabiskan waktu berdua hampir setiap hari. Jam delapan pagi Neil sudah siap menjemput Vega di depan kos, saat istirahat mereka pasti makan berdua. Apalagi saat pulang kuliah, sudah tentu mereka langsung berduaan seperti bulan dan bintang yang sebenarnya.
Namun memang ada sutu waktu, yang membuat Vega tetap menghabiskan waktu sendiri. Biasanya dua hari dalam seminggu, sepulang kuliah dia mampir ke kantor psikolog di pinggir kota tanpa seorang pun yang tau. Diam diam dia mulai memeriksa keadaan mentalnya untuk mengetahui apa benar dia mengidap bipolar.
Siang ini, Neil dan Vega sedang duduk berdua di kantin kampus yang sedang cukup ramai. Terlihat dari piring kosong yang ada di meja, mereka baru saja selesai makan siang. Vega yang duduk tepat di hadapan Neil kelihatan sangat gelisah karena nanti sore ada tes monolog di kelas akting yang akan dinilai langsung oleh Bastian. Neil yang tahu Vega sedang gelisah langsung menenangkan dengan memegang tangan kanannya. Neil lalu mengeluarkan pantun andalannya.
Pisau tajam kalau diasah
Banyak gedung di tengah kota
Kamu kenapa gelisah?
Mending ayo kamu cerita
Neil melancarkan gombalannya dengan pantun yang cukup mengejutkan Vega. Vega yang tadinya gelisah seketika langsung menjadi tenang.
Vega melepaskan gengaman tangan Neil lalu mengeluarkan handphone dari tasnya.
“Coba deh kamu liat ini video aku lagi latihan monolog buat casting film barunya Bastian.”
Neil mengambil handphone Vega, dia sangat penasaran karena sebelumnya tidak pernah melihat langsung proses latihan akting Vega. Neil sekarang cukup menghindari kalau membahas topik kelas akting, mengingat sebelumnya mereka berdua bertengkar hebat gara gara hal itu.
“Gimana monolognya?”
“Gini monolognya, biasanya setiap sore dia datang ke dapur, bukan untuk masak, tapi untuk menatap jendela melihat matahari terbenam. Namun kalau awan sedang mendung, dia tetap ke dapur, untuk membuat kopi yang sama sekali tidak pernah dia minum.”
“Wow itu monolognya tentang apa?” Tanya Neil.
“Gak dijelasin detail sih. Kata mas Bastian interpretasi masing masing aja. Coba deh kamu play video aku, menurut kamu gimana?”
Neil memutar video monolog Vega yang ada di handphonenya. Dia dengan serius memperhatikan video Vega latihan monolog yang direkam dari kamar kost. Video cukup singkat hanya berdurasi kurang dari dua menit, Vega membawakannya sangat serius sampai keluar air mata di akhir dialog. Neil seolah bisa merasakan “feel” saat Vega memainkan monolog itu, dia jadi sangat kagum dengan Vega.
Neil meletakan handphone Vega di meja, tiba tiba dia berdiri dari kursinya lalu tepuk tangan. Tepuk tangan itu yang membuat seisi kantin bingung dan langsung melihat ke arahnya. Vega jadi malu, segera dia minta Neil untuk berhenti dan duduk kembali.
“Kamu apa apan sih bikin malu aja?” Bisik Vega pelan sambil mencubit tangan Neil. Neil hanya bisa nyengir melihat Vega yang panik.
“Maaf… Maaf… hehehee. Menurut aku itu monolog yang bagus. Dapet banget feelnya.”
“Masa sih? Emang menurut persepsi kamu monolog itu tentang apa?”
Neil berpikir sejenak menyusun kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Vega.
“Tentang istri atau suami yang rindu sekali dengan pasangannya yang mungkin sudah meninggal atau udah gak ada. Dan yang ngucapin dialog itu pasti anaknya yang lagi cerita ke seseorang.”
Vega terpukau dengan penjelasan Neil karena dia juga memiliki penafsiran yang sama tentang dialog itu. Neil pun merasa kalau sekarang dirinya dan Vega sedang berada dalam salah satu momen penting bagi sepasang kekasih, momen romantis.
“Jadi si anak mungkin sedang rindu sama ibunya, jadi flashback kebiasaan si ibu kalau lagi rindu sama suaminya, atau sebaliknya. Intinya monolog soal rindu. Dan di video itu aku bisa rasain feel yang kamu keluarin.”
Lanjut Neil dengan memberikan pujian tulus kepada Vega. Yang membuatnya jadi sangat percaya diri dan tak kuasa menahan wajah yang tersipu malu.
“Kalo nanti pas tes casting kamu bisa mainin monolognya kayak di video tadi. Wah gokil sih.”
“Yaudah ah. Aku udah gak ada kuliah, aku mau langsung ke kelas Bastian biar bisa ada waktu latihan dulu disana. Nanti sore kamu selesai mata kuliah tambahan Bahasa Indonesia, jemput aku kan?”
“Jangankan jemput ke Bastian, jemput ke langit pun aku rela. Kan kamu bintang.”
Gombalan Neil membuat wajah Vega makin merah, semerah tomat. Ini adalah kali pertama Vega mendapatkan gombalan bertubi tubi dari seorang pria.
“Cieee malu nihhh mukanya jadi merah.”
Vega yang malu kembali mencubit Neil. Tapi kali ini bukan cubitan amarah, melainkan cubitan karena tak kuasa menahan malu dan gemes karena ulah Neil.
“Yaudah aku cabut ya, nanti jangan telat.”
Vega pergi dari kantin menuju kelas Bastian. Lalu setelah membayar makanan, Neil juga segera pergi menuju kelas Bahasa Indonesia.
***